Friday, March 21, 2008

Persepsi Nasionalisme

Oleh : M.Ihsanuddin

Nasionalisme merupakan sebuah terminologi yang tidak asing lagi di telinga kita. Bagaimana tidak? Dalam konteks era globalisasi seperti sekarang ini, Setiap negara sudah menanamkan benih-benih nasionalisme terhadap bangsanya, baik melalui pendidikan formal dengan memberikan porsi muatan materi yang mengandung pemahaman nasionalisme negaranya, maupun melalui event-event yang diadakan oleh negara untuk mengenalkan masyarakatnya terhadap segala bentuk produk budaya, karya, keyakinan dan pemahaman bangsa, juga membuat slogan-slogan ataupun yel-yel yang berfungsi sebagai pemicu timbulnya rasa memiliki negara (sense of national belonging), rasa percaya diri sebagai warga negaranya, dan rasa mencintai negara dan tanah airnya. Misalkan saja, Republik Islam Pakistan dengan slogannya "sub se pihli Pakistan" ( Pakistan diatas dan paling maju dibanding negara-negara lainnya), slogan seperti ini saja bisa membentuk sebuah persepsi warga negara dan mencanduinya untuk bisa menyakini dan mengatakan bahwa Pakistan sebagai negara superior. Realitas seperti itu, sudah menjadi trend global (lintas bangsa, negara, agama, suku dan ras) ataupun sebuah keharusan yang dilakukan oleh setiap negara dengan tujuan demi terwujudnya suatu bangsa yang sangat mencintai negara dan tanah airnya, berani berkorban baik material maupun spiritual demi membela negara dan tanah airnya dari cengkeraman penjajah. Maka secara tidak langsung, istilah nasionalisme telah menjiwai setiap individu dalam berbangsa dan bernegara. Dan sudah di-claim menjadi salah satu paham yang harus dikuti oleh setiap negara, yang menjiwai setiap kebijakan dalam negerinya (domestic policy) maupun kebijakan luar negerinya (foreign policy), yang ujungnya berimplikasi pada pembentukan sebuah ideologi bangsa atau juga bisa berdampak pada transformasi bentuk negara.
Pada hakekatnya, secara historis, terminologi nasionalisme bermula dari benua Eropa sekitar abad pertengahan. Kesadaran berbangsa - dalam pengertian nation-state – yang dipicu oleh gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther di Jerman. Saat itu, Luther yang menentang Gereja Katolik Roma menerjemahkan Perjanjian Baru kedalam bahasa Jerman dengan menggunakan gaya bahasa yang memukau, kemudian berimplikasi terhadap munculnya rasa kebangsaan Jerman yang memiliki identitas sendiri. Dalam perkembangannya nasionalisme Eropa yang pada awalnya menghasilkan deklarasi hak-hak asasi manusia berubah menjadi kebijakan yang berdasarkan atas kekuatan, self interest (kepentingan individu), tanpa menghiraukan lagi asas kemanusiaan. Juga menjadi jargon persaingan antar bangsa-bangsa Eropa yang menimbulkan imperialisasi terhadap negeri-negeri yang pada waktu itu belum memiliki identitas kebangsaan di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Pada tahap selanjutnya, para pemikir Eropa meng­-claim bahwa kekuasaan kolektif yang terwujud dalam negara yang bersifat obyektif lebih penting daripada kemerdekaan individual yang bersifat subyektif. Kemudian pada tahap akhir, terbentuklah suatu paham yang menyatakan bahwa negaralah yang memonopoli segala kebijakan, yang menentukan apa itu moral ataupun amoral, mana yang baik dan mana yang desktruktif. Pada puncaknya nasionalisme melahirkan paham fasisme (doktrin kepatuhan mutlak terhadap pemerintah dalam segala aspek kehidupan) sebagai ideologi politik modern yang diterapkan pertama kali oleh pemimpin diktator Italia Benito Mussolini pada tahun 1919, dan juga rasisme (paham yang mengunggulkan sukunya atas sebagian yang lain).
Dalam konteks keIndonesiaan, sejak dideklarasikan kemerdekaan RI, nasionalisme telah menjadi perdebatan antara Founding Fathers negara Indonesia. Perdebatan yang sangat menentukan ideologi bangsa tersebut berkisar pada bentuk rumusan pancasila, pada awalnya telah disepakati rumusan tersebut bernama Piagam Jakarta atas usulan Ir. Sukarno dengan lima sila, pada sila pertama ditambahi dengan anak kalimat :" Dengan melaksanakan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya". Akan tetapi kesepakatan ini menjadi perdebatan antara nasionalis sekuler dan nasionalis Islam, sampai muncul ancaman akan timbulnya disintegrasi bangsa jika tidak ada perubahan pernyataan pada sila pertama. Lantas disepakatilah perubahan pada sila pertama (sebagaimana rumusan pancasila sekarang), dengan rela kubu nasionalis Islam mengalah atas perubahan tersebut demi integritas bangsa dan negara. Sempat pada perkembanganya, negara Indonesia menjadi sebuah negara yang multiediologi atas gagasan Ir. Sukarno dengan NASAKOM-nya (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Dia berangggapan bahwa ketiga ideologi tersebut tidak saling berlawanan, akan tetapi malah sebailknya, adanya keterkaitan antara ketiganya. Dia ingin menyatukan antara ketiganya, dengan menjustifikasi bahwa cita-cita Islam untuk mewujudkan persaudaraan umat manusia tidak bertentangan dengan konsep nasionalisme dan menolak pemahaman nasionalisme yang sempit yang mengarah pada timbulnya patriotisme. Juga menjustifikasi konsep komunisme tidak bertentangan dengan Islam, dengan dalih komunisme hanya merupakan salah satu metode untuk memecahkan permasalah-permasalahan ekonomi, sejarah dan sosial saja. Dari sini, jelas terlihat bahwa nasionalisme muncul semenjak lahirnya RI, diiringi dengan gagasan pembentukan negara sekuler, bahkan negara komunis, tapi akhirnya komunis tumbang, tinggal tersisa Nasionalisme dan Agama yang masih eksis sampai sekarang ini.
Selain itu, menurut pakar sejarah, nasionalisme juga mengisi lembaran sejarah kelam umat Islam, yang merupakan salah satu faktor hancurnya benteng terakhir umat Islam yaitu Daulah Ustmaniyah (sistem kekhalifahan umat Islam) di Turki, yang telah dirintis sejak zaman Khulafaur-Rosyidin. Dengan tampilnya Musthafa Kamal yang menerima 4 Syarat yang diajukan Inggris untuk mengakui kekuasaan barunya di Turki, diantaranya; pertama: menghapus sistem khilafah, kedua: mengasingkan keluarga Utsmaniyah diluar perbatasan, ketiga: memproklamirkan negara sekuler, dan keempat: pembekuan hak milih dan harta milik keluarga Utsmaniyah.
Atas dasar postulat-postulat (dalil) diatas, dapat kita pahami bahwa nasionalisme merupakan sebuah faham yang membentuk loyalitas berdasarkan kesatuan tanah air, budaya dan suku. Juga bisa diartikan pengkultusan suatu tanah air dengan memberikan kecintaannya secara berlebihan, yang berakibat pada lemahnya bahkan hilangnya loyalitas terhadap agamanya, serta memposisikan kecintaan, ketaatan, dan kesetiaan terhadap negara dan tanah air merupakan kesetiaan tertingggi yang berasaskan fanatisme. Lain daripada itu, ada yang mengartikulasikan nasionalisme sebagai kecintaan alamiah terhadap tanah air, kesadaran yang mendorong untuk membentuk kedaulatan dan kesepakatan untuk membentuk negara berdasar kebangsaan yang disepakati dan dijadikan sebagai pijakan pertama dan tujuan dalam menjalani kegiatan kebudayaan dan ekonomi.
Namun demikian, mengingat eksistensi kita sebagai bagian dari umat Islam, sudah seyogyanya kita memaknai nasionalisme berdasarkan worldview Islam. Sebenarnya dalam Islam sendiri terjadi pro-kontra dalam memandang permasalahan ini. Dan yang menjadi permasalahan adalah dalam memaknai nasionalisme itu sendiri. Menurut Hasan Al-Banna –tokoh Ikhwanul Muslimin dari Mesir- menyatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan nasionalisme, apabila nasionalisme tersebut berasaskan tauhid dan aqidah yang benar dan dimaknai sebagai rasa cinta tanah air dan kerinduan kepadanya, dengan berkewajiban mengerahkan kekuatan untuk mewujudkan kemerdekaannya dan menebarkan prinsip-prinsip kemuliaan, juga mempererat tali ikatan antar sesama penduduk dan membimbingnya dengan cara yang terbaik demi kepentingan mereka, serta untuk membebaskan negeri-negeri lain dari penjajah dan berkedaulatan di muka bumi.
Sedangkan yang kontradiktif dengan ideologi Islam, jika nasionalisme tersebut berdasarkan konsep murni nasionalisme yang menjadi jargon kaum imperialis, yang dimaknai sebagai paham yang berasaskan fanatisme dengan maksud menanamkan benih-benih permusuhan, memecah belah umat dalam berbagai golongan berdasarkan batasan teritorial dan geografis saja, ataupun suku dan ras,dll. Juga menimbulkan pertentangan, menebar kebencian, mencerai-beraikan umat dari yang haq, dan mempersatukan mereka pada kebathilan. Sebagaimana hadist Nabi SAW :
"مَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يُقَاتِلُ عَصَبِيَّةً وَيَغْضَبُ لِعَصَبِيَّةٍ فَقِتْلَتُهُ جَاهِلِيَّة" (أخرجه مسلم)
"Siapa saja yang berjuang di bawah bendera fanatisme, benci karena fanatisme, menyeru karena fanatisme atau membela fanatisme, kemudian ia terbunuh, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah."
Dengan demikian, bisa dipersepsikan bahwa Nasionalisme menurut terma Barat sebagai ideologi politik, dan itu vis a vis dengan agama (baca: Islam), karena di negara-negara Barat berkeyakinan bahwa agama harus terpisah dengan politik, dengan slogannya "Religion is for God and nation for all" (agama untuk Tuhan dan negara untuk semua). Maka sudah jelas ini berimplikasi pada segala kebijakan bangsa dan negara berdasarkan nasionalisme, yang berujung pada transformasi ideologi agama menjadi ideologi nasionalisme, hilangnya ideologi Islam, agama didiskriminasikan, hingga terbentuknya negara sekuler.
Padahal Islam merupakan agama yang bersifat universal, komprehensif, dan integral, serta tidak bisa disekat-sekat ataupun dipilah-pilah dengan apapun yang berimplikasi pada tereduksinya values ataupun esensi Islam itu sendiri. Islam merupakan worldview dan ideologi, yang didalamnya meliputi 'aqidah, syariah, ghoyah dan minhaj.
Demikianlah persepsi nasionalisme, tinggal bagaimana kita memposisikan diri, ideologi mana yang kita yakini? Terakhir renungkanlah ayat ini :
"وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون"
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa". (Al-An'am ; 153)
Allahumma arinal haqqa-haqqa warzuqnat-tiba'ah.

No comments: