Friday, March 21, 2008

Paradigma Idealitas Kecerdasan Sosial Dalam Perspektif Islam

Oleh : M. Ihsanuddin, S.Th.I
Abstrak
Problematika sosial yang terjadi di masyarakat tidak lain merupakan dampak lajunya arus globalisasi yang menuntut adanya legitimasi publik dengan diaplikasikan sistem pola kehidupan modern. Sistem tersebut dibangun atas dasar kerangka keilmuan yang rasionalistik liberalistik, dengan memarginalkan nilai-nilai spiritualitas. Tanpa disadari sistem ini melahirkan manusia dan peradaban yang kehilangan fitrahnya, atau terbentuk sebuah mindset dan lifestyle (pola kehidupan manusia) yang bersifat materialistis, individualistis, egoistis, hedonis, dan arogan. Berangkat dari pola pikir diatas, artikel ini membicarakan pentingnya rekonstruksi paradigma berpikir dan pola kehidupan manusia atas dasar pondasi terhadap sistem dan konsep Islam yang bersumber dari pedoman hidup umat Islam yaitu Al-Quran dan Al-Hadits. Demikian juga merespon berbagai macam metode Barat yang dijadikan standar pola pikir untuk mencapai keberhasilan seseorang dalam hidupnya dengan menawarkan sebuah format baru yang lebih relevan dan ideal untuk dijiwai oleh setiap individu muslim, yaitu integrasi dan kolaborasi antara kecerdasan otak, emosi, dan spiritual yang dimanifestasikan dalam bentuk kecerdasan sosial. Maka akan terlahir generasi muslim yang mempunyai sikap jujur, tanggung jawab, empati, kooperatif, loyal terhadap Allah dan sesama, kerjasama, adil, kredibel, visioner dan peduli.

Pendahuluan
Eksistensi manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk saling berinteraksi dengan sesama
[1]. Bila ditelusuri lebih mendalam, manusia lebih hebat dari pada makhluk lainnya[2] dalam konteks menjadi khalifah di muka bumi[3]. Kehebatannya berupa anugerah Allah dengan diciptakannya manusia dalam bentuk dua dimensi, dimensi jasmani dan rohani. Jasmani terdiri dari instrumen panca indera dan akal, sedangkan rohani meliputi jiwa, hati dan intuisi[4]. Terkait dengan konsep dasar penciptaan manusia dalam bentuk yang paling sempurna[5], maka konsekwensi logisnya yaitu menyembah dan beribadah kepada Allah Swt[6]. Itulah merupakan bagian dari fitrah manusia. Dalam rangka melaksanakan kewajibannya, manusia dituntut untuk mengfungsikan dua dimensi tersebut secara holistik dan integral, yang dimanisfestasikan dalam bentuk mua'malah secara vertikal (interaksi antara makhluq dengan Sang Khaliq) maupun horizontal (Interaksi antara sesama makhluq). Namun dalam realitas yang ada, secara fungsional terjadi parsialisasi dan dikotomi, bahkan penafikkan terhadap salah satu diantara keduanya, hingga berdampak pada tereduksinya fitrah dan keseimbangan dalam hidupnya. Nampak dalam tatanan sosial masyarakat di zaman sekarang, manusia seperti mesin atau robot, tidak memiliki kefitrahan jiwa walaupun mereka berpendidikan tinggi. Dengan ditandai adanya kesenjangan sosial yang sangat memprihatinkan antara si kaya dan si miskin, kemiskinan struktural, krisis moral, serta kriminalitas yang telah merajalela. Inilah beberapa fenomena yang berkesinambungan di masyarakat sebagai dampak kurang maupun tidak difungsikannya secara maksimal instrumen-instrumen yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia, baik itu panca indera, akal, maupun hati. Padahal Allah Swt. mengibaratkan manusia itu seperti binatang ternak bahkan lebih hina (QS.Al-A'raf:179), apabila bertentangan dengan fitrahnya dan tidak mengfungsikan instrumen-instrumen tersebut untuk memahami ayat-ayat qouliyah (Al-Quran dan Al-Hadits) dan kauniyah (fenomena alam dan sosial masyarakat). Dari sini perlunya reformulasi dan upgrading kecerdasan utama manusia yaitu Kecerdasan Spiritual (SQ), Emosi (EQ), otak (IQ) serta kecerdasan sosial.

Konsep Barat dari IQ, EQ, SQ hingga Social Intelligence.
Terma kecerdasan biasanya berkaitan dengan kemampuan jiwa manusia untuk berpikir, menyelesaikan permasalahan, belajar, memahami hal-hal yang baru, dan mengambil pelajaran dari pengalaman-pengalaman yang telah berlalu
[7]. Namun definisi makna kecerdasan sendiri menjadi perdebatan antara para ilmuwan barat, apakah berarti kemampuan general seseorang, atau properti otak, sifat-sifat tingkah laku ataupun kumpulan pengetahuan dan skill?. Meski demikian, kebanyakan orang memiliki konsep tersendiri tentang komponen-komponen kecerdasan, diantaranya kepandaian, bisa memutuskan dengan baik, kemampuan menyelesaikan permasalahan, kemampuan verbal (lisan), dan minat belajar, serta kompetensi sosial[8].
Dalam historis terma Intelligence (kecerdasan) di Barat, bermula dari penelitian tentang perbedaan kecerdasan seseorang oleh ilmuwan Inggris Francis Galton pada akhir abad 19 (1884-1890), yang diukur dengan berdasarkan keturunan, yang dikorelasikan antara kemampuan intelektual dengan ketrampilan. Dia juga menemukan ide bahwa standar kecerdasan berdasarkan kwantitas. Akan tetapi James McKeen Cattell (1890) seorang psikolog Amerika menentang penemuannya Galton bahwa keturunan tidak berkorelasi dengan kesuksesan akademik. Selain itu, Alfred Binet dan Teodore Simon seorang psikolog Perancis sebagai penemu pertama kali teori test kecerdasan dengan prediksi yang akurat terhadap kesuksesan akademik anak didik, dan dijadikan standar kecerdasan seseorang yang digunakan dalam sistem rekrutmen di dunia akademik, militer dan dunia kerja. Namun teori test kemampuan intelektual ini mengalami kontroversi dan berbagai kritik, diantaranya tidak adanya validitas test disebabkan tidak adanya test kemampuan mental, seperti kebijaksanaan, kreatifitas, kompetensi sosial, dan penerapan ilmu pengetahuan
[9].
Pada tahun 1983 psikolog Amerika Howard Gardner menawarkan definisi dan konsep baru dalam kecerdasan, yakni multiple intelligence. Dia mengidentifikasi 7 macam kecerdasan, diantaranya pertama Kecerdasan Linguistik (kemampuan membaca, menulis, berkata-kata), kedua Kecerdasan Logika (menalar atau menghitung), ketiga Kecerdasan Visual/Spasial, keempat Kecerdasan Natural (kemampuan untuk menyelaraksan diri dengan alam), kelima Kecerdasan Kinestik / Fisik (kemampuan mengolah fisik seperti penari, atlet, dll), keenam Intrapersonal (kemampuan berinteraksi dan komunikasi dengan orang lain) dan ketujuh Interpersonal (kapasitas mengintrospeksi dan refleksi diri)
[10]. Menurut Sean Covey , Dr. Thomas Armstrong juga mengidentifikasikan tujuh jenis kecerdasan diatas dengan pernyataan bahwa anak-anak bisa belajar paling baik lewat kecerdasannya yang paling dominan[11]. Sedangkan pada tahun 1980-an seorang psikolog Amerika Robert Sternberg menawarkan teori yang tidak jauh beda dengan teori Gardner, dengan membagi kecerdasan dalam 3 aspek utama, pertama kecerdasan analisis (ketrampilan dalam berpikir, memproses informasi, dan menyelesaikan masalah, termasuk kemampuan analisa, evaluasi, menilai, dan membandingkan). Kedua kecerdasan kreatif yaitu skill yang diperoleh dari pengalaman untuk mencapai sebuah wawasan yang sesuai dengan situasi yang baru. Ketiga kecerdasan praktek yaitu kemampuan seseorang beradaptasi, memilih, dan membentuk realitas lingkungan dunianya[12].
Ternyata teori kecerdasan yang ditawarkan oleh Galton, Binet dan Simon, Gardner serta Robert Sternberg belum sempurna, maka muncullah teori baru "Emotional Intelligence" yang diprakarsai oleh psikolog Amerika Peter Salovey dan John Mayer (1990). Teori baru tersebut merupakan kemampuan untuk merasa, memahami, mengungkapkan, dan mengatur emosi. Teori ini kemudian dipopulerkan oleh seorang pengarang dan jornalis Daniel Goleman dengan bukunya " Emotional Intelligence" (1995) yang memuat juga didalamnya konsep kompetensi sosial
[13]. Dalam realitasnya, teori ini juga belum bisa mencapai kesempurnaan, hingga timbullah teori "Spiritual Intelligence" yang pertama digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall dari Harvad dan Oxford University. Kecerdasan spiritual ini ditemukan dalam pusat spiritual yang terletak dijaringan saraf dan otak[14]. Walaupun telah ditemukan berbagai macam teori, terakhir kali muncul teori baru yang digagas oleh Daniel Goleman dengan bukunya "Social Intelligence" . Dia mengeksplorasi kecerdasan sosial sebagai ilmu baru dengan implikasi yang mengejutkan terhadap interpersonal. Seperti reaksi antar individu, mengatur gerak hati yang membentuk hubungan baik antar individu. Menurut Goleman ekspresi kecerdasan sosial tersebut berdasarkan kharisma dan kekuatan emosi. Dia juga mendeskribsikan tentang adanya penyakit jiwa dan autistic sebagai dampak hilangnya kecerdasan sosial. Selain itu, dia juga mengakui bahwa setiap individu mempunyai fitrah yang integral, seperti kerjasama, empati, dan altruism (sifat mementingkan kepentingan orang lain)[15].

Prototipe Kecerdasan Sosial dalam Perspektif Islam
Islam merupakan agama universal yang mencakup berbagai aspek hidup dan kehidupan, material dan spiritual, personal dan sosial. Terkandung didalamnya nilai-nilai universal, komprehensif, dan integral, yang mengatur segala sistem kehidupan manusia, mulai dari Aqidah, Syariah, Akhlaq, Ibadah dan Mu'amalah
[16]. Meski demikian, realitas sebagian umat Islam belum mampu memahami nilai-nilai agamanya secara komprehensif dan integral, akan tetapi masih bersifat parsial yang hanya mengedepankan kepentingan individu maupun golongan yang berasal dari hati dan pikiran yang gersang dari spiritualitas ilahi. Maka disinilah perlunya implementasi integritas dan sinergi antara jasmani dan rohani, material dan spiritual, interaksi vertikal (hubungan dengan Sang Pencipta Allah swt) dan interaksi horizontal (hubungan intrapersonal, antara sesama)[17].
Pada hakekatnya, kehidupan manusia merupakan sebuah life cycle
[18] yang berawal dari alam dzuriyah (alam sebelum alam dunia), lalu alam nyata (dunia), dan alam kubur, hingga akhirnya mencapai kehidupan yang kekal (alam akherat)[19]. Ketika di alam dunia, manusia dituntut untuk mengetahui dan memahami hakekat dirinya[20], visi dan misi diciptakannya di dunia ini. Dengan menginstropeksi diri, siapakah saya?, akan kemanakah kelak saya akan pergi? untuk apa saya hidup di dunia? apa yang saya inginkan?, seseorang akan mengetahui hakekat jati diri dan kehidupannya. Berbekal panca indera, ruh, hati, nafsu dan akal, serta diturunkannya petunjuk yang absolut kebenarannya (Al-Quran dan Al-Hadits), manusia dituntut untuk bisa menentukan arah hidupnya dengan memfungsikan segala instrumen yang dimilikinya dan petunjuk yang telah diberikan dengan maksimal demi mencapai derajat yang lebih tinggi dari binatang[21], menjadi yang paling sempurna diantara manusia, orang-orang yang beriman yaitu muttaqin, muhsinin (orang-orang yang berbuat baik), dan mukhlisin (orang-orang yang ikhlas).
Kecerdasan sosial dalam perspektif Islam merupakan segala kemampuan manusia dalam memahami kebutuhan, masalah, fungsi, relasi sosial dan kesempatan atas berbagai macam problematika sosial masyarakat untuk memberikan kontribusi dan solusi, baik yang bersifat material maupun spiritual, dengan dilandasi hubungan saling percaya melalui pendekatan suara hati dan ikhlas kepada Allah swt
[22]. Makna terminologi kecerdasan sosial tersebut sebagai manisfestasi dari kolaborasi dan integrasi antara pendekatan kognitif atau kecerdasan otak dengan kecerdasan emosi serta spiritual yang bersumber dari tauhid yang benar dan dalam bingkai nilai-nilai universalitas Islam.
Dengan berlandaskan makna diatas, maka diantara prototipe (bentuk asli) dari individu yang memiliki kecerdasan sosial yang ideal dalam perspektif Islam adalah :

1. Memiliki Landasan Berpikir, Mindset, dan Prinsip Hidup yang benar.
Mayoritas manusia di zaman globalisasi memiliki pola pikir, prinsip dan visi hidup hanya sebatas dalam lingkup kepentingan pribadi, temporal, dan materialistis. Memang tidak ada salahnya, ketika seseorang berprinsip dalam hidupnya untuk mencapai jabatan/kedudukan yang tinggi, kekayaan yang melimpah, dan istri yang cantik. Akan tetapi tujuan maupun prinsip hidup seperti diatas hanya bersifat temporal dan tidak bermakna, jika tidak dilandasi dengan nilai-nilai-nilai Islam, baik yang berasal dari implementasi rukun iman maupun Islam. Konsekwensi sebagai seorang muslim dan mukmin, sudah sepantasnya memiliki pola pikir dan prinsip hidup yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Yakni menjadi superior disisi Allah dan makhluqnya dengan hiasan taqwa dan akhlaqul karimah.
Sebagaimana terdapat dalam konsep falsafah hidup Islam, derajat seseorang yang memiliki kesucian hati dan keilkhlasan amal, lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan keindahan jasmani dan banyaknya harta yang dimilikinya
[23]. Dalam pepatah arab juga disebutkan "Sebaik–baik manusia adalah yang paling baik akhlaqnya dan paling bermanfaat bagi manusia". Juga dalam pepatah arab yang maksudnya : "Manusia seribu itu ibarat seorang karena hanya memikirkan dirinya dan tidak bermanfaat bagi orang lain, sedangkan seorang manusia ibarat seribu jika bermanfaat bagi orang banyak melalui pendidikannya, pemikirannya, nasehatnya, dan segala bentuk bantuan yang diberikan kepada yang lainnya[24]. Dalam firman Allah disebutkan : "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu adalah disisi Allah orang yang paling taqwa diantara kamu"[25]. Tercantum juga dalam ayat-ayat Al-Quran selalu ada kombinasi antara keimanan dan amal sholeh[26], sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Ad Dailami: "Iman bukanlah angan-angan, tetapi apa yang bersemayam dalam hati dan diwujudkan dalam bentuk amal perbuatan.".
Jika seseorang sudah memiliki prinsip hidup yang benar (mempunyai visi keseimbangan antara kesuksesan dunia dan akherat), pola pikir melingkar dan holistik (berpikir untuk kepentingan diri sendiri dan masyarakat luas) dengan dilandasi tauhid yang benar, maka seseorang itu akan memiliki dinamika kehidupan yang tinggi dan bisa mengaktualisasikan potensi dirinya secara istiqomah. Sebagaimana dalam pepatah Arab disebutkan : "perjalanan hidup seseorang merupakan manifestasi jiwa dan hatinya".

Memiliki sikap dan kepribadian yang tangguh dan unggul.
"Keindahan seseorang itu bukan pada pakaian yang menghiasinya, tapi keindahan seseorang itu terletak pada keindahan ilmu dan adab" (pepatah arab).
Sikap dan kepribadian seseorang tidak lain merupakan pengejawantahan dari point pertama diatas. Menurut Ari Ginanjar dalam bukunya "Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual", mengatakan bahwa dalam membentuk kepribadian yang tangguh memerlukan prinsip-prinsip, diantaranya : pertama; "prinsip bintang, yakni kepribadian seseorang seharusnya dilandasi dengan tauhid, sehingga timbul rasa kepercayaan diri yang sangat tinggi, integritas yang sangat kuat, sikap bijaksana dan motivasi yang sangat tinggi".
[27] Kedua; "prinsip malaikat dengan ciri seseorang memiliki tingkat loyalitas yang tinggi, komitmen yang kuat, memiliki kebiasaan untuk mengawali dan memberi, suka menolong dan memiliki sikap saling percaya"[28]. Ketiga; "prinsip kepemimpinan, selalu mencintai dan memberi perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai, memiliki integritas yang kuat sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya, dan memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten".[29] Keempat; "prinsip pembelajaran, memiliki kebiasaan membaca buku dan membaca situasi dengan cermat, selalu berpikir kritis dan mendalam, selalu mengevaluasi pemikirannya kembali, bersikap terbuka untuk mengadakan kesempurnaan dengan berpedoman pada Al-Quran dan Al-Hadits"[30]. Kelima; "prinsip masa depan, selalu berorientasi pada tujuan akhir terhadap setiap langkah yang dibuat, melakukan setiap langkah secara optimal dan sungguh-sungguh, dan memiliki kendali diri dan sosial karena telah memiliki kesadaran akan adanya kehidupan akherat"[31].

3. Memiliki kapasitas mengaktualisasikan potensi diri dalam hidup bermasyarakat.
Setiap individu memiliki potensi diri, baik yang bersifat material maupun spiritual, dhahiriyah maupun batiniyah. Potensi diri seseorang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, sesuai dengan pembawaan, lingkungan termasuk pendidikan yang dilaluinya. Berdasarkan realitas di masyarakat, secara tidak langsung strata sosial terbentuk dari perbedaan potensi diri yang dimiliki oleh seseorang. Maka ketika seseorang mampu mengaktualisasikan potensi dirinya dengan maksimal, dia akan mencapai strata sosial yang tinggi. Tapi itu bukanlah niat dan tujuan utama dari aktualisasi potensi diri. Tujuan utama dan bentuk riil aktualisasi potensi diri tersebut yaitu berbuat baik demi kemaslahatan umat dengan mengharapkan ridha Allah swt
[32]. Disinilah dibutuhkan prinsip-prinsip, salah satunya yaitu prinsip memberi. Prinsip ini bisa dilakukan oleh siapa saja sesuai dengan kapasitasnya, baik kaya maupun miskin, dan bisa berupa materiil dan spirituil. Diantara salah satu implementasi prinsip ini dalam rukun Islam yaitu Zakat. Zakat disini sebagai salah satu aksi dari wujud fitrah manusia[33], yaitu kepedulian manusia terhadap lainnya. Inilah wujud dari sistem sosial dalam Islam, bahwa ada sebagian harta yang dimilikinya untuk kepentingan umum[34]. Bentuk riil dari implementasi "prinsip memberi" selain Zakat yaitu infaq dan shadaqah, perkataan dan nasehat yang baik, dan sebagainya sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Salah satu contoh dari aktualisasi potensi diri yaitu seorang tokoh KH. Ahmad Dahlan yang mendirikan Organisasi Muhammadiyah yang bergerak di bidang dakwah dan sosial kemasyarakatan. Pendirian organisasi tersebut terinspirasi dari makna yang terkandung dalam surat Al-ma'un untuk mengatasi problematika sosial masyarakat. Disebutkan dalam surat tersebut sebagai pendusta agama bagi mereka yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin. Maka didirikanlah panti asuhan anak yatim, rumah sakit, dan madrasah-madrasah untuk menampung dan mendidik mereka
[35].
Sebenarnya aktualisasi konsep kecerdasan sosial diatas tidak sulit, sebagaimana yang ditulis Abdul Wahab dalam artikelnya, "Dalam konteks pendidikan kecerdasan sosial tersebut, salah seorang wali dari Wali Songo, yakni Sunan Drajat, mencoba memformulasikan resep kecerdasan sosial dalam aktivitas dakwahnya dengan ungkapan sederhana, berilah tongkat kepada orang buta, berilah pakaian kepada orang yang telanjang, berilah makan kepada orang yang kelaparan, dan berilah perlindungan kepada orang yang kehujanan. Berilah pakaian kepada orang yang telanjang mengandung arti agar mendidik orang yang tak memiliki rasa malu agar menjadi orang yang berakhlak mulia. Pendidikan rasa malu sangat penting karena rasa malu adalah sebagian dari iman. Mereka yang suka membuka aurat atau melakukan pornografi dan pornoaksi perlu disadarkan dengan mencerdaskan rasa malunya"
[36].

Penutup
Dalam mengaplikasikan paradigma kecerdasan sosial diatas, perlu sebuah sampel dan suri teladan yang benar-benar bisa dijadikan figur bagi umat. Dan sebenarnya itu sudah ada dalam agama Islam itu sendiri, mulai dari Nabi Muhammad SAW dalam Siroh Nabawiyah-nya sampai sejarah para sahabat dan pengikutnya, serta ulama'-ulama Islam sesudahnya. Akan tetapi tidak hanya sekedar itu, juga perlu dibentuk sebuah konsep dan sistem pendidikan Islam yang memiliki integritas seluruh kecerdasan yang dimiliki manusia, dari kecerdasan otak, hati spiritual, emosional, dan sosial. Timbulnya berbagai macam problematika sosial tersebut tidak lain juga disebabkan produk sistem pendidikan yang sekuler dan parsial, dengan menafikkan nilai-nilai spiritualitas Islam. Maka yang sangat berperan dalam membentuk pribadi-pribadi muslim yang mempunyai kecerdasan sosial yang tinggi yaitu mulai dari pendidikan keluarga (terutama peran Ibu dalam mendidik anaknya), pendidikan sekolah (sekolah/madrasah yang mempunyai sistem integral dan komprehensif) dan lingkungan disekitarnya (lingkungan yang religius).
Wallahua'lam bish-shawwab

Referensi
1. Al-Quranul Karim
2. Ibnu Kholdun, Muqodimah, (Maktabah Shamilah ).
3. Ibnu 'Asyur, Tafsir Tahrir wa Tanwir (Maktabah Shamilah).
4. Azhar Arsyad, Universitas Islam: Integrasi dan Interkoneksitas Sains dan Ilmu Agama Menuju Peradaban Islam Universal, Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam "Tsaqafah" , vol. 2, No. 2, 2006/1427, ISID Gontor
5. Douglas K., Intelligence, Microsoft® Student 2007
6. Theory_of_multiple_intelligences, http://en.wikipedia.org.
7. Sean Covey, 7 Kebiasaan Remaja yang Sangat Efektif (terj), hlm. 265; (Binarupa Aksara, Jakarta, 2001).
8. Douglas K., Intelligence, Microsoft® Student 2007
9. Ari Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual " ESQ", (Arga, Jakarta, 2006).
10. Ilyas Ba Yunus, Sosiology and Muslim Social Realities, Social And Natural Sciences; The Islamic Perspective, (King Abdulaziz University, Jeddah, 1981)
11. http://eu.wiley.com
12. Yusuf Qardhawi, Menuju Kesatuan Fikrah Aktivis Islam (terj), Rabbani Press.
13. Abdur Rouf Al-Manafi, Faidzul Qodir (Maktabah Shamilah)
14. "Majmu'atul mahfuudzaat lissanah ula ilal khomisah, KMI
15. Irwan Prayitno, Kepribadian Muslim, (Pustaka Tarbiatuna, Jakarta, 2005)
16. Miskin Jurnal Peradaban dan Ulumul Quran, No. 6/VII/1997, hlm. 40.
17. Muhbib abdul Wahab, Kecerdasan Sosial,
http://www.pikiran-rakyat.com/, kamis 15 Januari 2006.

[1] Lihat Ibnu Kholdun , Muqodimah, h. 5; (Maktabah Shamilah ).
[2] Lihat Ibnu "Asyur, Tafsir Tahrir wa Tanwir " Al-Isra' : 70 " ; j. 8; h. 274 (Maktabah Shamilah).
[3] Lihat Azhar Arsyad, Universitas Islam: Integrasi dan Interkoneksitas Sains dan Ilmu Agama Menuju Peradaban Islam Universal dalam Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam "Tsaqafah" , vol. 2, No. 2, 2006/1427, ISID Gontor, hlm. 162.
[4] Ibid, hlm. 64
[5] Surah At-Tiin : 4.
[6] Surat Adz-Dzariyat : 56.
[7] Lihat Douglas K., Intelligence, Microsoft® Student 2007
[8] Ibid.
[9] Ibid
[10] Lihat Theory_of_multiple_intelligences, http://en.wikipedia.org.

[11] Lihat Sean Covey, 7 Kebiasaan Remaja yang Sangat Efektif (terj), hlm. 265; (Binarupa Aksara, Jakarta, 2001).
[12] Lihat Douglas K., Intelligence, Microsoft® Student 2007
[13] Ibid.
[14] Lihat Ari Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritua " ESQ", hlm. 44; (Arga, Jakarta, 2006).
[15] Lihat http://eu.wiley.com
[16] Lihat Yusuf Qardhawi, Menuju Kesatuan Fikrah Aktivis Islam (terj), hlm. 77, Rabbani Press.
[17] Surah Al-Qoshosh : 77
[18] Ari Ginanjar, Op. cit. 214.
[19] Surah mukmin; 39, artinya : "Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal".
[20] Lihat Faidzul Qodir, juz 5, hlm. 64 (Maktabah Shamilah)
[21] Al-A'raf : 179
[22] Ibid, Ari Ginanjar, hlm. 335.
[23] Hadits Nabi yang diriwayatkan Muslim dari Abu Huroiroh ra :"Sesungguhnya Allah tidak akan melihat kepada rupa-rupamu dan harta-hartamu, tetapi Allah akan melihat hatimu dan amal perbuatanmu".
[24] Lihat "majmu'atul mahfuudzaat lissanah ula ilal khomisah, hlm. 53, KMI
[25] Al-Hujurat : 13
[26] Diantaranya dalam surat (Al-Baqarah : 25, 82, 277, Ali-Imran: 57, An-Nisa' : 57, 122, 173, 10, 93, Al-Ashr : 3)
[27] Op.cit, ESQ, hlm. 137
[28] Ibid. hlm. 152.
[29] Ibid. hlm. 175
[30] Ibid, hlm. 201.
[31] Ibid, hlm. 217
[32] Lihat Irwan Prayitno, Kepribadian Muslim, hlm. 225, (Pustaka Tarbiatuna, Jakarta, 2005)
[33] Lihat Ilyas Ba Yunus, Sosiology and Muslim Social Realities dalam buku Social And Natural Sciences; The Islamic Perspective, hlm. 32; (King Abdulaziz University, Jeddah, 1981)
[34] Dalam Al-Quran (Ad-Dzariyat : 19 disebutkan "Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian" .Lihat Miskin dalam Jurnal Peradaban dan Ulumul Quran, No. 6/VII/1997, hlm. 40.
[35] Ibid. hlm. 36.
[36] Muhbib abdul Wahab, Kecerdasan Sosial, http://www.pikiran-rakyat.com/, kamis 15 Januari 2006.

No comments: