Wednesday, March 19, 2008

Neo kolonialisme di Era Globalisasi

Oleh: M.Ihsanuddin

Prolog
Dalam diskursus kemerdekaan ada keterkaitan yang sangat erat dengan kolonialisme (penjajahan). Demikian juga tidak terlepas dari konteks permasalahan Timur (Orient) dan Barat (Occident), Timur yang identik dengan negara-negara yang berdomisili di benua Asia dan Afrika yang mayoritas penduduknya muslim. Sedangkan Barat identik dengan negara-negara di benua Eropa termasuk Amerika yang mayoritas penduduknya beragama Yahudi, Nasrani, ataupun Atheisme
[1]. Kemudian muncul kolonialisme pada abad 13, setelah terjadinya perang salib. Maka mulailah para kolonialis Barat melakukan ekspansi militer ke benua Asia mulai dari Turki, Mesir, hingga Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada tahun 1914-1918 terjadilah perang dunia I[2] dan. Perang dunia II (1939-1945). Akhirnya timbul yang namanya Neo Kolonialisme (paradigma baru dalam penjajahan) yang lagi mengancam dunia Timur (khususnya negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam) sampai saat sekarang ini.
Dari sini penulis ingin mencoba mengkaji secara singkat neo kolonialisme di era globalisasi ini, dengan melihat konteks historis munculnya kolonialisme hingga neo kolonialisme, paradigma dan karakteristiknya, kemudian dihubungkan dengan konteks neo kolonialisme di Indonesia dan diskursus upaya untuk melawan neo kolonialisme serta memerdekakan bangsa Indonesia dari intervensi dan ekploitasi kolonialis hingga terwujudnya kemerdekaan hakiki.

Flashback dari kolonialisme ke Neo Kolonialisme
Terma kolonialis dapat diartikan sebagai dominasi suatu negara terhadap negara lain, seringkali menggunakan cara agresi militer untuk mendapatkan suatu penguasaan wilyah. Terma ini tidak jauh beda dengan imperialisme, cuma kalau kolonialisme digunakan ketika suatu bangsa mengambil alih kontrol politik negara lain, sedangkan imperialisme mempunyai makna yang lebih luas, yang berarti sebuah aksi pengambilan kontrol terhadap negara lain baik dalam bidang politik maupun ekonomi, baik secara formal maupun informal.
[3]
Dilihat dari konteks sejarah peradaban dunia, latarbelakang munculnya kolonialisme berawal dari eksistensi kebangkitan Islam mulai abad ke-6 hingga ke-15. Puncaknya pada abad ke-15, Islam mencapai zaman kejayaannya. Dengan diprakarsai oleh Daulah Ustmaniyah (abad 14-20), Islam sebagai pusat peradaban sekaligus super power dunia, karena menguasai tiga samudera penting, yakni laut merah (di Timteng), Laut Putih (di Eropa/Balkan) dan laut hitam (di Asia Tengah). Dalam studi geopolitik terkenal teori “siapa yang menguasai daratan eurasia,
[4] maka dia akan menguasai dunia”.[5] Sebelumnya, pada tahun 750-1258, Islam pada masa Daulah Abbasiyah yang berpusat di Baghdad telah mencapai zaman keemasan. Dengan ditandai munculnya para filosof dan ulama’ muslim seperti dan berdirinya universitas Cordoba di Spanyol (968) sebagai pusat kajian keilmuan (matematika, science, medicine) dan disiplin ilmu-ilmu yang lain, juga sebagai pusat perekonomian dan peradaban.
Pertama kali kolonialis Barat melakukan ekspansi militernya ke Timur, dengan motif ingin merebut Yerusalem dari tangan umat Islam melalui konstantinopel (sekarang Istambul) atau disebut perang salib
[6] (abad 11-13). Hingga muncullah di Barat zaman Renaissance, zaman kebangkitan Barat setelah mereka menang dalam perang salib, yang sebelumnya mereka dalam hegemoni peradaban Islam selama kurang lebih 6 abad. Maka tidak heran kalau Barat (para kolonialis khususnya Italia, Jerman, Perancis, Inggris) merasa iri dengan zaman kejayaan peradaban Islam, sehingga perang salib dijadikan momentum yang sangat signifikan bagi Barat untuk meraih kejayaan dengan mentransfer segala macam produk peradaban Islam, khususnya dalam bidang literatur-literatur Islam yang didalamnya terkandung berbagai macam ilmu, termasuk sains maupun filsafat. Juga hasil alamnya sebagai modal untuk mengembangkan perekonomian dan perdagangannya.
Menurut John W.cell, pada tahun 1450-1700 dianggap sebagai zaman eksplorasi. Ditandai dengan munculnya kompetisi antar negara-negara Barat untuk melakukan spekulasi ekspedisi ke benua lain dengan membangun pusat-pusat perdagangan dan benteng-benteng peperangan. Maka untuk mempermudah melancarkan ekspedisinya, mereka menggunakan sistem militer (peperangan) dan ekonomi perdagangan. Disamping itu, misi misionaris juga mempunyai peranan yang vital dalam kolonialisasi. Ekspansi kolonialis tersebut, dinavigatori oleh Vasco da Gama (Portugis) ke Benua Afrika dan Asia Selatan, dan Christofer Columbus (Italia) melewati laut atlantik hingga menemukan benua Amerika
[7]. Kemudian diikuti oleh negara-negara kolonialis seperti Portugis, Inggris, Belanda, Spanyol, dan Perancis.
Pada tahun 1700-1815 kolonialisme mengalami era imperium perdagangan oleh Barat. Dengan berbasiskan perdagangan laut di dua samudera, samudera Hindia dan Atlantik. Dengan didukung peralatan militer yang lebih maju, Barat bisa menguasai perdagangan dunia. Periode 1815-1870 sebagai masa imperialisme perdagangan bebas, Inggris sebagai penguasa perdagangan, hingga munculnya revolusi perancis, dan perang Napoleon di AS. Periode selanjutnya masa new imperialis, 1870-1941, periode ini terjadi transformasi motif penjajahan, yang sebelumnya motif ekonomi lebih dominan, berubah menjadi motif politik dan strategi militer serta ideologi, ditandai dengan munculnya kompetisi para kolonialis dalam memperkuat negara-negara koloninya dan merebut koloni negara lain. Dan muncul kolonis baru dari Asia yaitu Jepang.
[8]
Setelah terjadi pearng dunia II (1939-1945), ada sebuah gagasan perdamaian dunia, dibentuklah sebuah lembaga perdamaian dunia, sebagai kelanjutan dari Liga bangsa-bangsa yang telah dirintis setelah perang dunia I oleh negara-negara besar seperti Perancis, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, dan Uni Soviet. Tapi AS belum bergabung, kemudian pecahlah perag dunia II, hingga munculnya PBB atas dasar gagasan presiden tiga negara (AS, Inggris dan Uni Soviet). Tapi ini tidak bisa merendam munculnya perang dingin, sebagai puncak PD II., antara blok Barat yang dipimpin AS, dan blok Timur yang dipimpin Uni Soviet. Faktor penyebab perang tersebut tidak lain adalah perbedaan ideologi dua negara super power, yakni ideologi sosialis marxis yang diakui oleh negara Uni Soviet dan ideologi kapitalis liberal yang dianut oleh negara AS. Perang dingin berakhir setelah naiknya Mikhail Gorbachev menjadi presiden Uni Soviet 1985. Dengan melakukan negoisasi politik dan merubah kebijakan luar negeri soviet, sehingga lama-kelamaan kekuatan ideology komunis sosialis runtuh..
[9] Implikasi dari runtuhnya Soviet, sebagai awal naiknya kekuatan tunggal super power dunia, yakni Amerika Serikat dengan ideologinya kapitalis liberal, dan demokrasi liberal menjadi penguasa dunia.
Dengan berakhirnya perang dingin, stabilitas perdamaian internasional dikendalikan oleh PBB, sebagai lembaga internasional yang mengatur segala problematika yang terjadi di negara-negara dunia, baik dalam bidang ekonomi, politik, kesehatan, pendidikan, keamanan, hukum, dll. Tapi pada kenyataannya badan ini dikuasai oleh negara-negara pemilik modal (kaya) yang mempunyai hak veto, yakni AS, Inggris, Peransic, Cina, Soviet. Maka secara tidak langsung, para kolonialis akan melaksanakan aksi kolonialisasi dengan tidak menggunakan kekuatan militer, tapi menggunakan kekuatan ideologi, pemikiran, opini yang ditempuh dengan cara yang lebih halus melalui jalur diplomasi dan kebijakan luar negeri yang mana tidak lepas dari tawaran paket negara-negara kolonialis, yaitu nasionalisme, demokrasi dan sistem kapitalis liberal.
Lahirnya neo kolonialisme, juga terinspirasi dan termotifasi dari epistemologi filsafat Barat, yang mencakup di dalamnya segala spesifikasi keilmuan dengan konsep dan framework Barat. Barat mencapai zaman pencerahan pada abad 18
[10] dengan ditandai lahirnya filosof-filosofnya seperti tokoh Rasionalis Rene Descartes dan Spinoza, tokoh Politik Thomas Hobes dan John Locke, tokoh aliran Skeptisisme Pierre Bayle, Nicolas copernicus, Galileo, serta Emmanuel Kant dengan mottonya”dare to know” yang mempunyai ciri sebagai zaman kebebasan berpikir dan berekspresi. Juga Voltaire (1694-1778) seorang filosof perancis, dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778) seorang filosof dalam bidang sosial dan politik, David Hume (1711-1776) filosof yang mengembangkan skeptisisme dan empirisme, dll. Pada abad 19 muncullah zaman romantisme, sebagai zaman perkembangan literature yang berkarakteristik dengan imajinasi kepercayaan, pendekatan subjektif, kebebasan berpikir dan berekspresi, dan dasar idealisasi. Bagi Barat zaman pencerahan merupakan zaman warisan terakhir di abad 19 dan 20, sebagai awal mula kemunduran gereja dan kemajuan sekularisme modern. Inilah kerangka dasar politik dan ekonomi liberal, sebagai momentum transformasi menuju kemodernan dan kebebasan bagi Barat. Revolusi Perancis 1779 dan Revolusi Amerika 1776 ikut memberikan konstribusi bagi negara-negara kolonialis untuk meletakkan dan mengkonstruksi ideologi yang kokoh untuk keberlangsungan kolonialisasinya hingga terwujud neo kolonialisasi di era globalisasi sekarang ini.

Tipe-tipe Neo Kolonialis
Motif dasar dari Neo Kolonialis yakni ingin melanggengkan misi penjajahannya, dengan berbagai macam cara dalam berbagai aspek berbangsa dan bernegara, baik dalam aspek ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dan budaya. Dalam pencapaian misinya, para kolonialis Barat mengetahui seluk-beluk dan problematika suatu bangsa yang masuk wilayah jajahannya. Maka timbul tipe-tipe ataupun karakteristik neo kolonialisme, diantaranya :
Pertama; dalam aspek ekonomi, mereka sengaja membentuk lembaga-lembaga donor seperti CGI, IMF, WTO dan World Bank. Itu sebagai sarana ataupun perantara untuk keberlangsungan hubungan antara kolonialis dengan negara jajahannya, dengan alasan memberikan pinjaman lunak kepada negara-negara yang baru merdeka, atau negara-negara berkembang. Tidak hanya sekedar itu, tapi negara-negara tersebut diiming-imingi sebuah model kehidupan modern, maka secara otomatis negara-negara tersebut ingin membangun negaranya secara cepat supaya tercapai komodernan bangsanya dengan cara meminjam dana ke IMF maupun CGI dan Worl Bank walaupun dengan bunga lunak dan diberi batas tempo yang lama dalam pelunasannya. Selain itu dipromosikannya pasar bebas, ini akan berdampak pada hancurnya ekonomi rakyat kecil, karena pemilik modallah yang akan menguasai pasar dengan harga yang murah dan kwalitas yang tinggi. Inilah karakteristik dari sistem kapitalis liberal. Juga didengungkannya privatisasi usaha-usaha milik negara, dan ini memperparah hancurnya ekonomi negara-negara berkembang.
Kedua; dalam aspek pendidikan, sejak berakhirnya perang salib, para kolonialis sudah menjalin kerjasama dengan para ilmuwan dan misionaris, dengan membentuk kajian keTimuran (orientalis), mayoritas mereka mengkaji Timur secara subjektif, destruktif dan imajinatif. Karena kajian mereka bermotifkan kolonialisme dan misionarisme. Kajian mereka berputar pada kajian biografi Nabi Muhammad SAW, dakwah dan kenabiannya, teologi Islam, Syariat Islam, mencakup Al-Quran dan Al-Hadits, kekhalifahan dalam Islam dan sistem hukum, berbagai konfrontasi masyarakat Islam berdasarkan sejarah, kehidupan rasionalisme, bahasa arab, tradisi dan sastranya, sejarah Islam dan peradaban Islam. Selain itu, juga mengadakan aktivitas-aktivitas yang lain, seperti kegiatan penerjemahan, membuat daftar katalog dan indeks, penelitian, kodifikasi, percetakan, dan penerbitan, sistematisasi, pengkaryaan, spesifikasi sebagian jurnal berkala dengan nama Islam dan Timur
[11]. Orientalis merupakan senjata yang lebih ampuh dibandingkan senjata militeristik yang diadopsi kolonialis dalam melancarkan dan melanggengkan kolonialisasinya di dunia Timur khususnya.
Demikian juga, bisa ditafsirkan sebagai perang wacana dan gagasan maupun pemikiran (ghozwul fikri) untuk mereduksi teologi dan nilai-nilai Islam, serta menciptakan berbagai macam konsep dan sistem baru dalam segala aspek kehidupan. Maka untuk mentransfer dan memerankannya di dunia Islam, negara-negara kolonialis menggunakan fasilitas dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa di negara-negara koloninya, sebagai sarana transformasi keilmuwan yang berlandaskan sistem yang dianut oleh negara kolonialis tersebut, maka ketika mahasiswa tersebut kembali ke negaranya, dia akan mentransmisi sistem keilmuwan yang didapatkan untuk diaplikasikan di negaranya, maka ketika terjadi clash antara ideologi negaranya dengan negara kolonialis, maka ada tuntutan reformasi sistem, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan. Juga dengan mendirikan berbagai sekolah-sekolah ataupun universitas-universitas di negara-negara muslim . Dengan melihat realitas sekarang ini, mayoritas sistem pendidikan di setiap negara, mengadopsi sistem pendidikan modern yang mengacu sistem Barat, yang bercirikan adanya dikotomi keilmuwan antara sains dan agama, serta mengedepankan rasionalistis materialistis, tanpa diimbangi dengan spiritualitas.
Ketiga; dalam aspek politik, para kolonialis telah bersepakat untuk melegalkan sistem demokrasi liberal dan kapitalisme global. Itu sudah menjadi sebuah trend sistem pemerintahan terpopuler setelah terjadinya dekonstruksi sistem-sistem yang berlaku sebelumnya. Juga sebagai awal puncak kejayaan AS sebagai negara super power setelah mengalahkan ideologi sosialis komunis di Uni Soviet. AS dengan gencar mempromosikan sistem ini melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya, seperti PBB, IMF, CGI, dll. Sistem tersebut vis a vis teokrasi, sebagaimana yang telah diaplikasikan oleh umat Islam sendiri, hingga berakhirnya khilafah ustmaniyah. Kemudian muncul sistem pemerintahan monarkhi sebagai manifestasi sistem teokrasi, namun mengalami transformasi dan akulmulasi menjadi monarkhi demokratis, sebagaimana yang diterapkan dibeberapa negara pada era sekarang ini. Dalam memahami demokrasi terkandung makna kedaulatan ditangan rakyat, keadilan, hak-hak asasi manusia, feminisme, yang intinya bersifat freedom, dalam artian kebebasan masyarakat untuk bertindak, berpikir, berekspresi, asalkan tidak bertentangan dengan konstitusi publik dan hak asasi manusia. Ketika sistem ini diterapkan dalam suatu negara, maka konskwensi logisnya munculnya sekularisme dan kapitalisme global liberal, kekuasan negara dipegang oleh pemilik modal, karena bisa memobilisasi massa dengan modalnya serta menhalalkan berbagai cara dalam meraup dan mencapai kembali modalnya.
Keempat; dalam aspek sosial budaya, dalam era kolonialisasi militeristik, para kolonialis telah mewariskan budaya dan sistem sosial yang berkembang di negara kolonialis, untuk diadopsi di negara-negara koloninya. Maka tidak heran di negara-negara bekas jajahan, masih mewarisi dan menerapkan sitem sosial dan budaya kaum kolonialis. Dalam era globalisasi sekarang ini, neo kolonialisme dalam aspek sosial budaya merupakan realisasi dari sebuah sistem politik dan ekonomi global, yakni ideologi demokrasi liberal dan kapitalisme global. Konstruksi sistem sosial budaya masyarakat tidak lain bersumber dari ideologi masyarakat. Pada hakekatnya, sistem sosial budaya publik bersifat lokalitas dan pluralitas, tapi ketika sebuah ideologi diaplikasikan sebagai pondasi ataupun standar sebuah sistem sosial budaya, maka implikasinya terbentuknya sebuah trend sistem sosial budaya yang harus diikuti, karena sudah mendapatkan legitimasi dari publik. Itulah realitas sekarang ini, hegemoni kolonialis terhadap negara-negara koloninya (yang mayoritas negara Muslim) dengan kekuatan sistem politik dan ekonominya secara bertahap berdampak pada akumulasi dan akulturasi budaya, hingga budaya tersebut teralienasi dari bangsanya.
Dalam tranformasi sistem sosial budaya, terjadi kompetisi antar individu, kelompok, dan bangsa dalam mencapai budaya dan peradaban yang lebih tinggi. Dalam hal ini terjadi sebuah teori tesis-anti tesis yang menghasilkan sintesa, yakni persaingan budaya untuk menuju kemodernan hingga tercapai sebuah perpaduan budaya. Filsafat inilah yang menjadi dasar dari teori clash of civilization yang dikemukakan Samuel P. Huntington dan Francis Fukuyama yang mengakhiri pertarungan (dialektika historis) dengan menggulirkan teori the end of history, yang menganggap Demokrasi-Liberal dan Kapitalisme Global sebagai pemenang sejarah. Sebab menurut Fukuyama bahwa setelah abad enam belas dan tujuh belas masehi proses penciptaan ide dalam sejarah telah berakhir. Dengan demikian, era Postmodernisme diklaim sebagai era the end of history ditandai dengan adanya penyatuan ideologi dengan segala aspeknya, yang direpresentasikan dalam realitas kehidupan umat dan bangsa yang bercirikan kebebasan. Sebab paham negara bahwa Demokrasi Liberal akan dijadikan panutan oleh negara-negara di dunia ini, dan konflik yang terjadi antara individu dan sosial akan berakhir karena kebebasan bagi setiap warga telah dijamin oleh negara dengan Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia.
[12] Maka ketika sebuah negara mengamini ideologi tersebut, secara otomatis dia masuk dalam perangkap grand theory neo kolonialisme.

Neo-kolonialisme dalam konteks ke-Indonesiaan
Pada usia kemerdekaanya yang ke-62 ini, bangsa Indonesia belum merasakan kemerdekaan secara hakiki. Secara de jure, Indonesia memang sudah merdeka, karena telah diakui oleh dunia, tetapi secara de facto, kita masih dijajah. Dengan melihat realitas yang ada, bangsa Indonesia masih dalam hegemoni, dominasi, dan cengkeraman para kolonialis yang bersifat eksploitatif, destruktif, dan intervensionisme. Juga termasuk problematika bangsa yang tidak kunjung reda, serta berbagai macam krisis yang terus menjangkiti bangsa, baik krisis ekonomi, krisis moral, krisis keteladanan dan panutan umat. Itu semua merupakan efek dan konskwensi dari eksistensi neo kolonialisme di tubuh negara RI. Kalau kita kaji lebih dalam dengan melihat realitas bangsa dari berbagai aspek berbangsa dan bernegara, akan menemukan pelbagai problematika bangsa yang itu memang sengaja disetting sedemikian rupa oleh para kolonialis untuk melanggengkan misi kolonialis, misionaris, maupun ateisnya. Itu dapat dibuktikan dalam berbagai aspek, diantaranya:
Pertama; dalam aspek ekonomi. Indonesia masih dililit utang luar negeri. Sampai saat ini pemerintah belum bisa merealisasikan kesejahteraan rakyatnya. Ternyata, “prestasi” luar biasa Indonesia dalam berhutang tercatat ketika merdeka telah menanggung beban hutang sebesar US$ 4 miliar, hingga saat ini hutang Indonesia sebesar US$ 78 miliar atau Rp 1333,93 triliun, Astaghfirulloh!, jika hutang tersebut ditanggung oleh setiap penduduk, maka setiap kepala dari penduduk Indonesia yang berjumlah 230 juta jiwa ini menanggung beban hutang sebesar Rp. 5,8 juta per kepala. Dan hutang tersebut belum termasuk utang luar negeri BUMN (US$ 4.8 miliar), swasta (US$ 45,5 miliar), dan utang pemerintah (US$ 60 miliar). Dengan beban utang luar negeri tersebut, secara implisit terkandung intervensi asing, sehingga setiap kebijakan ekonomi maupun politik harus berdasarkan dikte dari badan donor seperti CGI, IMF dan World Bank yang merupakan reinkarnasi ekonomi negara-negara pemodal. Selain itu juga meraih “prestasi” negara terkorup di dunia.
[13]
Kedua; dalam aspek pendidikan, Neo Kolonialisme menjadikan pendidikan sabagai sarana dan obyek yang paling jitu dan strategis dalam melancarkan misinya. Dengan menggunakan dua cara, pertama; pemberian beasiswa dan pembinaan mahasiswa-mahaiswa yang berprestasi untuk dibina dan dididik di negara-negara kolonialis, kemudian sebagai transformator konsep-konsep epistemologi segala keilmuwan Barat yang berideologikan Barat untuk diaplikasikan di negaranya. Kedua; warisan sistem pendidikan kolonialis, dengan diberlakukannya dikotomi keilmuan antara yang bersifat umum dan religius. Juga direduksinya alokasi waktu untuk materi keagamaan, ini menambah dangkalnya pengetahuan keagamaan anak didik. Dari dua faktor tersebut, berdampak pada output pendidikan yang bersifat rasionalistis, materialistis, individualistis dan memarginalkan nilai-nilai spiritualitas. Tingkat pendidikan di Indonesia juga masih rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, seperti Malaysia walaupun umur kemerdekaannya lebih muda, akan tetapi dalam taraf perekonomian dan pendidikan lebih maju dibandingkan Indonesia, disebabkan Malaysia memprioritaskan pembangunan moral dan pendidikan bangsa lebih diutamakan daripada pembangunan fisik negara.
Ketiga; aspek politik, percaturan perpolitikan di Indonesia mengalami reformasi setelah runtuhnya rezim Suharto, dengan menerapkan sistem demokrasi Pancasila, tapi dalam realitanya tidak beda dengan sistem pemerintahan monarkhi. Namun demikian, gerakan reformasi menggulingkan rezim Suharto, kurang membawa Indonesia ke arah yang lebih menjanjikan, akan tetapi berimplikasi terhadap timbulnya demokrasi liberal sebagaimana yang diterapkan di AS. Maka secara tidak langsung, Indonesia telah menjadi negara boneka AS, yang berkarakteristik mengagungkan kebebasan, baik dalam berbicara, berekspresi, berkarya maupun pola berpikirnya, dengan menggunakan standar rasionalitas dan hukum publik. Inilah sebagai bukti bahwa dalam tubuh negara ada ruh-ruh neo kolonialisme yang akan membahayakan bangsa, karena Ideologi dan konteks Indonesia tidak seperti AS. Dengan legitimasi publik untuk diterapkannya demokrasi liberal, membawa dampak yang cukup besar dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam aspek ekonomi akan muncul kapitalisme liberal. Pemilik modallah yang akan menjadi penguasa.
Keempat; dalam aspek sosial budaya, Indonesia mengalami transformasi dan akulturasi sosial budaya dengan budaya global yang bersumber dari peradaban Barat. Ini dapat dilihat dari life style dan fashion mayoritas masyarakat Indonesia yang bersifat bebas, materialistis, individualistis, konsumtif, hedonis, dan feodalis yang selalu mengikuti trend budaya Barat. Ini berimplikasi pada tereduksinya dan teralienasinya tatanan sosial dan budaya bangsa yang bersifat keTimuran yang bersumber dari agama Islam, hingga hilangnya jati diri dan identitas bangsa.

Gagasan menuju kemerdekaan hakiki
Indonesia merupakan negara kepulauan yang multikultur, agama, isme, ras, suku, dan daerah. Maka rawan akan terjadinya ancaman konflik internal, disintegrasi bangsa, diskriminasi golongan dan ketidakadilan. Atas dasar keanekaragaman itulah disepakatinya Pancasila sebagai ideologi bangsa dan pandangan hidup (wolrdview) masyarakat Indonesia yang menjiwai segala aspek kehidupannya. Pada hakekatnya, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam (88%), akan tetapi ideologi bangsanya bukan Islam, tidak lain hanyalah sebagai salah satu solusi untuk mencapai kemaslahatan umat dan integritas bangsa. Jadi ideologi negara kita dibangun atas dasar jalan tengah dan kemaslahatan, juga untuk menghormati golongan minoritas, bukan dari representatif agama mayoritas penduduk. Namun demikian, ideologi inilah yang menentukan warna, corak sistem sosial, budaya, politik dan ekonomi bangsa.
Realitas bangsa dengan ideologinya tidak memuluskan perjalanan bangsa untuk mencapai kemerdekaan hakiki yang diidam-idamkan, tapi tanpa disadari malah terjerat dan terperangkap dalam jeratan dan perangkap neo kolonialisme dengan mendapat legitimasi dari bangsanya sendiri. Maka sekarang bagaimana bangsa kita bisa terlepas dari jeratan dan perangkap tersebut hingga mencapai kemerdekaan hakiki?
Inilah sebuah fenomena klassik yang selalu gagal dalam prosesnya, sebagaimana yang dialami negara-negara muslim lainnya. Dengan melihat konteks neo kolonialisme di Indonesia, maka bisa diambil langkah-langkah sebagai berikut : Pertama; dalam aspek ekonomi, pemerintah Indonesia harus tegas dalam menentukan sistem dan kebijakan perekonomian di Indonesia, dengan landasan jelas, tidak mengadopsi sistem sosialis marxis dan kapitalis liberal, tapi menerapkan sistem ekonomi pancasila, yang mengadopsi sistem ekonomi syariah Islam karena mayoritas penduduknya muslim. Diantara solusi praktisnya yaitu: pertama; penghentian hutang luar negeri dan mempercepat pelunasan hutang, serta memutus hubungan dengan IMF, Kedua; adanya penyadaran terhadap masyarakat dan tuntutan resistensi terhadap struktur penindasan yang terjadi melalui kebijakan-kebijakan lembaga-lembaga donor (IMF, WTO, World Bank, CGI) yang kurang menguntungkan bangsa, malah yang terjadi sebaliknya, seperti; eksploitasi sumber daya alam Indonesia oleh pihak asing, privatisasi aset-aset BUMN, liberalisasi pasar yang berakibat pada terjadinya konsentrasi penguasaan modal pada segelintir orang dan liberalisasi perdagangan yang mengakibatakan munculnya penguasaan sektor industri oleh kelompok yang terbatas, karena itu semua sebagai ciri dasar dari formasi sosial neo-liberal yang menempatkan pasar sebagai aktor utama. Sehingga pengelolaan ekonomi selanjutnya tunduk pada mekanisme pasar yang fluktuatif. Ketiga, adanya internalisasi ekonomi Negara. Keempat, pemberlakuan ekonomi political dumping. Kelima, maksimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dengan pemanfaatan tekhnologi berbasis masyarakat lokal (society-based technology). Keenam; lebih mengutamakan dan memihak kepada kepentingan umat, juga pelaku usaha kecil dan menengah.
Kedua; dalam aspek politik dan pendidikan. Indonesia secara kultur dan tingkat pendidikan masyarakat belum ada kompatibilitas dan keharmonisan untuk diterapkan demokrasi liberal sebagaimana yang diterapkan di AS, dan memang itu tidak sesuai dengan ideologi dan kultur bangsa. Maka paling tidak perlu adanya modifikasi sistem demokrasi itu sendiri, dengan mengeliminasi unsur-unsur yang tidak sesuai dengan kultur Islam dan pandangan hidup bangsa. Sedangkan kebijakan Luar Negeri negara, seharusnya mengutamakan kepentingan umat (Islam), tapi realitas pemerintahan sekarang, kebijakannya cenderung mengutamakan kepentingan politiknya dan pelaku bisnis (pasar) yang berdampak pada kapitalisme global. Dalam aspek pendidikan, dengan reformasi sistem dan kurikulum pendidikan nasional, dengan cara; pertama; eliminasi dikotomi keilmuan, antara ilmu pengetahuan umum dan agama, kedua; filterisasi epistemologi keilmuan Barat yang mayoritas digunakan sebagai referensi utama dan standarisasi keilmuan, dengan cara komparasi dengan epistemologi Islam, terutama dalam ilmu-ilmu politik, ekonomi dan sosial. Ketiga; membentuk kurikulum yang mengutamakan pembentukan karakter dan akhlaq serta pola pikir yang benar dengan berlandaskan ideologi yang benar (Islam).
Ketiga; dalam aspek sosial sosial budaya, Indonesia mengalami problematka sosial yang kompleks, seperti kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial sosial yang sangat tinggi antara kaya dan miskin, kriminalitas, kerusakan moral, pergaulan bebas, dll. Diantara penyebabnya adalah kesalahan sistem dan kurikulum pendidikan nasional dan sebagai dampak arus globalisasi dan kapitalisme global yang melanda bangsa tanpa resistensi dan filterisasi dari pemerintah dan masyarakat. Maka disini peran pemerintah sangat diperlukan untuk mengkontrol media massa, baik media cetak maupun elektronik, karena dalam konteks realitas di Indonesia khususnya, media massa merupakan salah satu sarana yang mempunyai peran yang sangat dahsyat dalam transformasi sosial budaya bangsa. Dengan dalih kemodernan, kultur Barat sesuatu yang dianggap sakral, yang harus diikuti dengan digemborkannya lewat media massa. Inilah yang menyebabkan kultur bangsa mengalami distorsi hingga akhirnya tereliminasi oleh budaya yang bersumber dari peradaban Barat. Maka ketika bangsa masuk dalam ranah kebebasan, sudah harus ada hukum atau UU yang mengaturnya dengan berlandaskan ideologi bangsa dan juga ideologi mayoritas umat, juga di dukung dengan peran dan kontrol pemerintah, ulama, dan publik. Sedangkan dalam masalah kemiskinan, pemerintah dituntut untuk memperhatikan kehidupan masyarakat miskin, karena penduduk Indonesia 17,7 % dari 230 juta jiwa masih dalam taraf hidup miskin. Diantara solusinya yaitu pemerintah dan para ulama mempopulerkan berzakat atas harta yang dimiliknya bagi masyarakat muslim.
Konsep-konsep tersebut diatas merupakan sebuah solusi alternatif yang mendekati teori praktis untuk bisa diterapkan dalam mencapai kemerdekaan hakiki. Pada hakekatnya, solusi yang menjanjikan dan menjamin adalah ketika bangsa ini telah berideologikan Islam, yang telah mencakup segala sistem dan aspek kehidupan sebagaimana yang diajarkan Rosululloh SAW. Akan tetapi yang menjadi pokok permasalahan adalah pemahaman umat Islam sendiri yang parsial terhadap agamanya, demikian juga terpolarisasi oleh sekte-sekte dan madzhab-madzhab Internal dan isu-isu global, maka timbullah opini Islamophobia. Negara-negara muslim sendiri takut untuk menerapkan sistem dan hukum Islam di negaranya sendiri, apalagi negara-negara kolonialis. Padahal Islam adalah sebuah system yang universal (komprehensif, totalitas, dan integral). Mencakup berbagai aspek hidup dan kehidupan yang termasuk didalamnya negara dan pemerintahan.

Epilog
Neo kolonialisme sudah mengakar di tubuh negara-negara muslim, termasuk Indonesia. Sesuatu kalau sudah mengakar sulit untuk dihilangkan, kecuali harus dicabut dari akar-akarnya. Berarti haruskah ada gerakan revolusi untuk negara kita Indonesia, Sebagaimana revolusi Iran yang diprakarsai oleh Ayatulloh Khumaini? Ataukah dengan menafsirkan Islam dengan Kiri Islamnya Hasan Hanafi? Kedua-duanya kurang sinkron untuk diterapkan di Indonesia sekarang ini. Sebagai langkah dasar yang harus diperbaiki untuk mencapai kemerdekaan hakiki yakni tajdid dan islah pola pikir dan pemahaman bangsa Indonesia terhadap Islam dan negaranya dengan memposisikan Islam sebagai ideologi dan pandangan hidup (worlview), sedangkan negara sebagai wadah kehidupan dan perjuangan.
Wallohu a’lam bishowab


[1]
[1] Lihat: Hamid Fahmy Zarkasyi, “Memahami Barat” , Majalah Islamia, Vol II, No 2,2007.
[2] kekuatan pusat gabungan antara negara German, Austria, Hungaria, dan Bulgaria melawan kekuatan sekutu yang terdiri dari 28 negara yang mencakup didalamnya Inggris, Perancis, Rusia, Italia dan Amerika.
[3] Lihat, John W. Cell "Colonialism and Colonies." Microsoft® Student 2007
[4] Eurasia adalah bagian dari daratan eropa yang menyambung langsung ke Asia.
[5] Lihat: Sapto waluyo, Laporan Khusus; Makar Mengoyak Imperium Islam, Majalah SAKSI, No. 1 thn IX, 9 November 2006
[6] Lihat Karen Amstrong, Holy War, The Crusades and Their Impact on Today’s World, (Anchor books), 12 & 415
[7] Lihat John W. Cell, Colonialism and Colonis, op.cit.
[8] Ibid.
[9] Lihat Lawrence Freedman, Defense Planning after the Cold War, Microsoft® Student 2007
[10] Lihat "Age of Enlightenmen.", Microsoft® Student 2007
[11] Dr. Adnan M. Wizan, Akar Gerakan Orientalisme, dari perang fisik menuju perang fikir, Fajar Pustaka Baru Yogyakarta, hal: 35-36.
[12] Lihat Ahmad Sahidin, Membaca Arus Neo Kolonialisme Budaya, lateralbandung.wordpress.com
[13] Lihat Ahmad Fadli, Stop Utang atau Mati, Kolom Mahasiswa, Majalah SAKSI, No. 1 thn IX, 9 November 2006

Sumber Bacaan:
1. Adnan M. Wizan, Akar Gerakan Orientalisme, dari perang fisik menuju perang fikir (terj), Fajar Pustaka Baru Yogyakarta
2. Majalah Islamia, Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2 / 2007
3. Majalah Saksi, Makar Mengoyak Imperium Islam, No. 1 Tahun IX/ 9 November 2006
4. Anjar Nugroho, Ideologisasi Islam, Jalan Menuju Revolusi (Pemikiran Ali Syariati), pemikiranislam.wordpress.com
5. Microsoft ® Encarta ® 2007
6. Ahmad Sahidin, Membaca Arus Neo Kolonialisme Budaya, lateralbandung. wordpress.com
7. Karen Amstrong, Holy War, The Crusades and Their Impact on Today’s World, Anchor books
8. ‘Azm Attamimi, As-siyasah asy-Syar’iyyah fil Islam, Liberty for Muslim World
9. Yusuf Qardhawi, Menuju Kesatuan Fikrah Aktivis Islam (uraian ilmiah 20 prinsip Hasan Al Banna, Totalitas Islam (terj.), Robbani Press

No comments: