Wednesday, March 19, 2008

Menafsir Agama, Antara Tekstual Dan Kontekstual*

Oleh : M. Ihsanuddin
Penafsiran agama bukanlah hal yang baru dalam diskursus pemikiran kontemporer. Sejak lama, agama telah menjadi perbincangan yang hangat bagi para tokoh – tokoh dari berbagai macam bidang ilmu, baik sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi, maupun politik. Semua aspek tersebut tidak lepas dari yang namanya agama. Dalam perkembangannya, seiring dengan lajunya arus budaya, pemikiran, peradaban - yang didominasi oleh budaya dan peradaban barat yang telah berkembang sejak akhir abad 16 - berimbas pada terwujudnya akulturasi, assimilasi budaya, gerakan pemikiran yang menjurus pada sekularisasi dan liberalisasi, dan juga membawa dampak yang cukup besar bagi kelangsungan dan eksistensi agama, baik agama Islam maupun non Islam. Agama yang mulanya bersifat esoteris, transenden, yang mempunyai otoritas kebenaran, tereduksi menjadi sebuah institusi yang bersifat humanis, relatif, dengan hilangnya elan vital dan esensi dari sebuah pedoman dan jalan hidup. Agama disetir oleh realitas sosial, dituntut untuk bisa merakyat, sesuai dengan fenomena dan sosio historis masyarakat yang ada, dengan tidak lagi mengindahkan nilai-nilai normativitas teks, yang pada akhirnya akan tercipta sebuah agama baru yang berbasiskan realitas sosial. Inilah salah satu fenomena yang terjadi pada era posmodernitas, eksistensi agama semakin redup dan termarjinalkan. Bagaimana nasib agama nantinya?, apakah akan mati dan tidak mendapat ruang lagi? Dan bagaimana agama menghadapi tuntutan realitas sosial yang selalu mengalami evolusi sesuai dengan kemajuan zaman?
Disini penulis mencoba menafsirkan kembali makna dari sebuah agama, baik dipandang dari segi tekstual maupun kontekstual atau realitas sosial masyarakat, dan fenomena agama yang sedang berkembang, terutama yang berkenaan dengan problematika teologis.

Makna agama
Pada hakekatnya, makna agama masih menjadi sebuah dialektika para pemikir dari berbagai bidang ilmu, terutama para teolog, sosiolog dan antropolog, sehingga makna agama mengalami problematika penafsiran, saking banyaknya background penafsirnya. Juga berakibat pada berbagai macam pemahaman dalam penafsiran agama. Walaupun demikian, dengan melihat fenomena dan realitas yang ada, agama tetap mempunyai batasan makna. Secara normatif, agama dilihat dari aspek tesktual, yang berdasarkan dalil-dalil Ilahi, terutama dalam kitab suci Al-Quran – yang tetap pure dan otentik-terdapat + 80 ayat yang menyebutkan kalimat "diin", diantara maknanya yaitu balasan (reward) (QS:1;4), ketaatan dan ibadah (QS:2;193), agama Islam (QS:2;256), petunjuk hidup meliputi aqidah, syariat, dan akhlaq (QS:3;19) (QS:3;85), undang-undang, peraturan dan syariat (QS:12;76) hukum Allah (undang-undang samawi) (QS:24;2), metode dan jalan (QS:109;6), aqidah dan millah (QS:42;13). Menurut DR. Nabil Muhammad Taufik As-samalutiy dalam bukunya Ad-Diin wal bina' al-ijtima'i, agama merupakan sebuah determinasi ilahi yang menunjukkan kepada keyakinan yang benar, dan kebaikan dalam berbuat dan bermua'malah. Sedangkan menurut Abul A'la Al-Maududi dalam dirosah-nya yang berjudul Ad-diinul qoyyim mengatakan bahwa Islam adalah sebuah metode hidup dalam berfikir dan berbuat, juga berarti ketaatan manusia kepada Tuhannya, keyakinan dan kepasrahan hanya kepada-Nya. Dengan demikian, agama secara tekstual tidak bisa diartikan secara parsial, sekedar keyakinan kepada suatu dzat yang mempunyai kekuatan ghaib atau hubungan antara manusia dengan Tuhan, akan tetapi mempunyai makna yang lebih luas sebagai petunjuk hidup yang mencakup aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalah.

Sedangkan agama dilihat dari sudut pandang kontekstual sebagaimana penafsiran para filosof barat, baik sosiolog, antropolog, psikolog, maupun fenomenolog, terdapat dua aspek, pertama aspek psikologi yaitu kondisi subjektif atau kondisi internal orang yang bergama (keyakinan kepada yang disembah). Aspek yang kedua yaitu aspek eksternal atau realitas obyektif. Ini kebanyakan menjadi pembahasan di dalam sosiologi, yang meliputi tradisi masyarakat, seni ( puisi, syair, prosa), budaya-peradaban, cerita, dongeng, dan berbagai macam keyakinan mereka. Mereka menafsirkan agama dengan istilah "religion" berdasarkan background ilmunya, diantaranya; menurut Max Weber (1864 – 1920)-sosiolog dari Jerman yang mengkritik sistem kapitalisme-marxis)-agama merupakan bagian dari institusi sosial, yang membentuk dan mengatur sebuah masyarakat. Juga mengatakan bahwa agamalah yang berjasa melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. Sedangkan menurut Kant (1724-1804) dalam bukunya (Ad-diin fi hudud Al-'aql,terj) yaitu perasaan yang timbul untuk mentaati dan melaksanakan perintah Tuhan. Herbert Spencer (sosiolog dari Inggris 1820-1904) dalam bukunya (Al-Mabadi' Al-Aula terj.), unsur pokok dalam agama adalah kekuatan transenden yang tidak mungkin dibatasi oleh tempat dan waktu. Menurut antropolog Tylor, agama merupakan keyakinan akan adanya ruh (animisme). Max Muller (ahli bahasa dari Jerman 1823-1900) menafsirkan agama sebagai persepsi entitas yang terbatas yang hanya mampu diwujudkan dengan perasaan. Emile Durkheim (1859-1917) dalam bukunya (Asy-syuwar al-awaliyah lilhayah ad-diniyah"terj.) agama merupakan kumpulan orang yang bersandarkan pada keyakinan dan perbuatan yang berhubungan dengan sesuatu yang suci, atau bisa dikatakan setiap agama berdasarkan pada dua aspek yang berbeda, pertama aqidah (kondisi pikir dan sketsa akal), kedua ibadah (prinsip-prinsip praktis yang berhubungan dengan pendekatan diri terhadap yang disembah).
Berangkat dari asumsi-asumsi tersebut diatas, secara umum agama merupakan sebuah konsep keyakinan atas dasar ketaatan, kepasrahan dan ibadah terhadap adanya wujud Tuhan (dzat ilahi) yang suci, yang mempunyai kekuatan ghaib. Disamping itu, agama mempunyai batasan makna, setidaknya terdapat lima elemen pokok yang saling berkaitan, pertama; ketuhanan (teologis), kedua; adanya dzat, ketiga; keyakinan kepada sesuatu yang ghaib (sacred), keempat; kekuatan dinamis dan efektif. Kelima; mempunyai kekuatan yang bisa mengabulkan permintaan dan menyelesaikan permasalahan serta melindungi manusia dari segala gangguan. Akan tetapi makna agama yang paling komprehensif dan universal adalah menurut Islam itu sendiri, yang tetap bersifat tekstual dan kontekstual, walaupun Islam sendiri mangakui keberadaan agama-agama selain Islam. Islam sebagai penyempurna syariat-syariat Nabi sebelumnya. Dalam Al-Quran disebutkan : "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (QS;Ali Imran: 85).


Problematika Agama
Sungguh menarik memang, dialektika klassik akan eksistensi agama ditengah kehidupan masyarakat global yang serba majemuk ini, tarik ulur antara tuntutan agama dengan teologi inklusif dan eksklusif, antara liberalisme dan fundamentalisme, antara konservatif dan moderat. Semua itu berangkat dari problematika yang dihadapi agama, terutama agama-agama monoteisme. Fenomena ini muncul akibat dari tuntutan peranan agama dalam tatanan sosio-historis masyarakat, sejauhmana agama berperan dalam membangun kehidupan masyarakat yang selalu mengalami evolusi dalam berbagai macam aspek kehidupan. Sudah tidak bisa dipungkiri lagi, wacana agama dengan segala problematika, peranan dan tuntutannya dalam mengatur kehidupan manusia, selalu mengalami evolusi. Setidaknya ada 4 faktor yang menyebabkan evolusi tersebut, pertama pemahaman umat terhadap agamanya termasuk kitab sucinya, kedua, jarak antara turunnya wahyu (risalah kenabian) dengan umatnya. Ketiga realitas sosial (budaya, pengetahuan, teknologi, pemikiran) masyarakat yang selalu berubah. Keempat lahirnya teori-teori ilmu pengetahuan sosial (paradigma sosial) yang merupakan produk aliran-aliran filsafat barat, setidaknya terdapat empat kerangka ilmu tersebut; pertama positivisme logik, kedua rasionalisme kritis, ketiga empirisme analitis, keempat hermeneutika dan konstruktivisme kritis. Bangunan ilmu inilah yang mengakibatkan destruksi dan evolusi agama, terutama teori hermeneutika dan konstruktivisme kritis yang menimbulkan slogan relativisme yang di ploklamirkan oleh generasi zaman postmodern di Barat. Slogan "semua adalah relatif" yang berarti tidak ada kebenaran mutlak, kalau diaplikasikan dalam pemahaman agama, maka hancurlah sendi-sendi agama itu, tidak mengakui wujud kemutlakan Tuhan dan firman-Nya, kebenaran, moralitas, nilai, baik buruk, salah benar, porno tidak porno, sopan tidak sopan, bahkan dosa tidak dosa adalah nisbi belaka, tergantung siapa yang menilainya. Itulah firman tanpa Tuhan, dan sabda tanpa Nabi. (lih. ISLAMIA Vol 3 No 1, h. 118)
Pada hakekatnya, konsep teologis agama-agama samawi adalah monoteisme, sebagaimana Allah telah menjadikan tiap umat aturan dan jalan yang terang (Al-Maidah:48), masing-masing umat sejak dari Nabi Adam As-manusia pertama di ciptakan Allah- sampai Nabi Muhammad SAW mempunyai syariat sendiri, akan tetapi tetap dalam satu akidah (monoteisme) yaitu tauhid dan ikhlas kepada Allah, walaupun Allah sendiri mampu menjadikan satu umat dengan syariat dan jalan yang sama, kalau Dia menghendakinya, akan tetapi itu untuk menguji manusia .(lihat tafsir Ibnu Katsir, bab 3, juz 3, hal.129-130, Maktabah Syamilah). Dalam perkembangannya, problematika yang menimpa umat Nabi Musa dan Nabi Isa, diantaranya problem penafsiran teksnya (kitab sucinya) dan konsep teologisnya, terbukti dengan mudahnya umat Yahudi dan Nasrani menafsirkan kitab sucinya disesuaikan dengan keinginan dan realitas umat, yang pada akhirnya menghasilkan konsep teologis yang salah, misalkan trinitas pada agama Kristen. Lain dari pada itu, di dalam Islam sendiri, adanya pemahaman krusial dalam menafsirkan istilah ahlul kitab, yahudi, Nasrani, Shabiin, yang disebutkan dalam beberapa ayat Al-Quran, diantaranya, Al-Baqarah 62, Al-Maidah 69, Al-Hajj 17. (lih. Islamia, Thn I No 4, Tafsir Ayat-Ayat Ahlul Kitab, h.81-90). Biasanya ayat-ayat ini dijadikan sandaran bagi para penggagas pluralisme agama dalam menafsirkan agama dalam berbagai macam terminologi, dengan istilah konvergensi agama-agama (the transcendent unity of religions), ataupun the common vision. (lih. Teologi Inklusif Cak Nur, kompas, 2001, h.6), maka dalam menafsirkan ayat-ayat suci Al-Quran, sangat diperlukan disiplin prinsip dan kaidah ilmu tafsir, dan juga merujuk pada kutub at-tafaasir.
Munculnya reinterpretasi agama terutama dalam problematika teologis (yang menjadi elan vitalnya agama) tidak lain disebabkan oleh adanya fenomena keberagamaan dan realitas sosio-historis masyarakat yang ada, dimana agama dijadikan jargon kemunduran, keterpurukan, "kambing hitam" terjadinya konflik, komoditas politik, sebagai pemicu kerusuhan dan penyebab ketertindasan, dll. Maka tidak heran kalau para pemikir (filosof & intelektual) dan teolog ingin mencari format baru, bagaimana format agama yang selalu kontekstual, ideal, humanis, membawa kedamaian dan diterima oleh semua kalangan, diantaranya; proyek teologi inklusif Cak Nur (Alm.) yang berangkat dari fenomena teologi eksklusif, ambil contoh gereja kristen katolik dengan doktrinnya "No salvation outside the Church" (tidak ada keselamatan di luar gereja) yang sarat dengan klaim kebenaran (claim of truth) sehingga timbul gerakan reformasi gereja yang merubah teologinya menuju teologi inklusif, dengan asumsi dasar "keselamatan tidak menjadi monopoli umat kristiani". Demikian juga muncul teologi pluralis liberatif, dengan jargonnya solidaritas (dialog) antar-iman yang mengarah kepada proeksistensi pluralitas, yang dipresentasikan oleh Dr. Farid Esack (pemikir Islam pluralis dari Afsel) dengan bangunan epistemologinya tafsir hermeneutik Al-Quran. Teologi ini berangkat dari setting umat Islam Afsel yang tertindas, ingin mengadakan gerakan pembebasan mereka dengan menggalang solidaritas antar-iman dengan agama lain (baca teologi inklusif Cak Nur, Sukidi, kompas 2001). Secara tidak langsung, mereka telah menimbulkan benih tiga paham keagamaan kontemporer, pertama pluralisme yaitu paham agama yang menyakini bahwa semua agama itu sama, kebenaran setiap agama itu relatif, sehingga tidak ada klaim kebenaran dalam agama, dan menyakini bahwa semua pemeluk agama akan masuk surga dan hidup berdampingan di surga, kedua liberalisme yaitu paham yang menekankan pada kebebasan individu dalam menjalani hidup dengan berdasakan pada nalar-rasio semata dan pembebasan dari struktur sosial politik yang menindas.dan ketiga sekularisme yaitu paham yang memisahkan antara urusan agama dengan negara, pemisahan antara otoritas duniawi dengan ukhrowi, agama hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur oleh kesepakatan sosial (lihat: Antara Liberalisme dan Fundamentalisme oleh Muladi Mughni).
Di samping itu, gerakan teologi tersebut berdampak pada timbulnya berbagai macam penafsiran teologi Islam terutama di Indonesia –sebagai solusi alternatif dalam menjawab persoalan aktual umat Islam-, setidaknya ada 13 tren gerakan pemikiran, diantaranya Islam Fundamentalis, Islam Teologis—normatif, Islam Eksklusif, Islam Rasional, Islam Transformatif, Islam Aktual, Islam Kontekstual, Islam Esoteris, Islam Tradisional, Islam Modernis, Islam Kultural, Islam Inklusif-Pluralis, Islam Emansipatoris dll. Justru dengan banyaknya penafsiran agama seperti tersebut diatas, bisa mereduksi aspek essensial-values normativitas sebuah agama, mendekonstruksi tatanan agama yang berdampak pada hilangnya identitas sebuah agama (orisinalitas, transendental, sacred, esoteris, universal dll.), menjadi sebuah institusi yang elastis, kanan-kiri ok!, kebenaran relatif, keyakinan yang kabur, humanis (berdasar pada realitas sosial dan keinginan manusia).
Terlepas dari itu semua, kalau boleh menyebut dengan istilah "terminologi agama" ataupun "terminologi Islam kontemporer", penyebab utama munculnya keanekaragaman paham keagamaan kontemporer dan terminologi Islam kontemporer tersebut, tidak lain adalah mencari solusi dari kurang berperannya agama dalam menyelesaikan problematika umat, diantaranya timbulnya konflik antar umat beragama, ketertindasan, kemunduran, dsb. Dengan melihat fenomena; Barat (identik dengan Kristen dan Yahudi) mencapai kemajuan dalam berbagai bidang, sedangkan Timur (identik dengan Islam) mengalami kemunduran dan ketertindasan, kalau dikaitkan dengan agama, dapat dianalogikan Barat maju karena meninggalkan agama, karena agamanya mengalami problematis dalam konsep teologis dan penafsiran teks (kitab sucinya), sedangkan umat Islam mundur karena meninggalkan agamanya, bukan Islamnya yang mengalami problem, akan tetapi mayoritas umat Islamnya, disebabkan kurangnya pemahaman Islam itu sendiri, baik dari segi teologi, epistemologi, maupun metafisiknya. Memang tidak dipungkiri, secara historis di internal Islam sendiri, sejak wafatnya khlalifah Ali ra sudah muncul berbagai macam sekte, baik dalam ushul (aqidah) seperti syiah, khawarij, mu'tazilah, ahlus sunnah wal jamaah, dll, maupun dalam furu' (fiqh) seperti al-madzahib al-arba'ah (Syafi'i, Maliki, Hanafi, Hambali). Walaupun demikian, Islam tetap mempunyai landasan teologis yang jelas yaitu Al-Quran dan Al-Hadits. (lih. Tafsir Ibn Katsir, juz II, h. 344-346 Maktabah Syamilah)
Dengan demikian, perlunya reposisi eksistensi agama, setelah mengalami terpaan gelombang globalisasi dengan adanya tren-tren terminologi agama dan teori-teori ilmu pengetahuan dari Barat, maka penulis ingin memberikan sebuah solusi alternatif, dengan mengacu pada faktor-faktor penyebabnya, terutama dalam konteks agama Islam, setidaknya ada 5 point : pertama; pemahaman dan kesadaran individu setiap pemeluk agama akan hakekat ajaran masing-masing, dengan merujuk kepada original sources, kalau umat Islam kembali kepada Al-Quran dan Al-Hadits dengan mengkaji kutub al-turast, baik tafsir, hadits maupun tarikh. Kedua; pemahaman sosio-historis masyarakat dengan tetap mengacu pada sumber aslinya, melalui instrumen yang syar'i yaitu ijtihad, dengan mengedepankan dalil naqli daripada 'aqli dan tidak berijtihad dalam hal-hal yang sudah mapan, seperti ushul (aqidah), dengan tujuan dekonstruksi. Ketiga; aplikasi dari nilai-nilai ajaran normativitas agama dalam kehidupan sehari-hari, sehingga agama dengan values dan esensinya tidak sekedar menjadi wacana dialektika dan propaganda, akan tetap menjadi realitas kehidupan masyarakat yang menjiwainya. Keempat; adanya saling memahami antar umat beragama (toleransi) pada tataran horisontal, tidak masuk wilayah teologis. (lihat:tafsir Ibn Katsir, juz 8 hal.507). kelima; memfilter hegemoni paradigma berpikir orientalisme maupun kerangka teori-teori ilmu pengetahuan sosial Barat, yang kebanyakan mengambil sampel konsep mengatasi problematika barat dengan kristennya, yang sangat bertentangan dengan epistemologi agama untuk diterapkan dalam paradigma berpikir Islam.
Dari uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa dilema yang melanda eksistensi agama berangkat dari penafsiran dan pemahaman agama yang salah, clash antara doktrin agama dengan realitas sosial, menimbulkan agama-agama baru tanpa Tuhan. Tuhannya tidak lain adalah Tuhan realitas, perasaan, filosof, Tuhan agama-agama, yang bersifat relatif, dsb, yang semuanya itu hanya berdasarkan pada rasionalitas dan realitas sosial masyarakat belaka. Memaknai dan menafsir agama tidak perlu membentuk agama baru yang tidak jelas konsep teologinya, cukup dengan mereposisikan Islam sebagai agama pelopor dan penyempurna dari semua agama yang ada, tidak mencampur antara yang haq dengan yang batil, dengan segala konsep Islam yang komprehensif dan universal, yang tentang berpegang teguh pada Al-Quran dan Al-Hadits. (sholihun fi kulli zamanin wa makanin). Wallahu a'lam bish-showab.



Sumber Bacaan
Al-Quran al-Karim
Tafsir Ibnu Katsir
Majalah Islami Thn I No 4 Januari-Maret 2005, Pluralisme Agama, dari Globalisasi ke Global Theology
Majalah Islami Vol. I No 1 2006, Kerancuan Orientalis dalam Kajian Islam
Taufik As-samalutiy, Muhammad, Nabil, Ad-Diin wal bina' al-ijtima'I, Juz II, 1981, Daarus Syarq Jedah
Hasan, Khalifah, Muhammad, Tarikhul Adyan, 1996, Kuliyah Adab, Jami'ah Qohiroh
Mughni, Muladi, Antara Liberalisme dan Fundamentalisme
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, cet. II 2001, Kompas Jakarta
Amstrong, karen, A History of God, A Mandarin Paperback, London 1993
Seth D. Kunin, Religion; The Modern Theories, Edinburgh University press,UK 2003
Abdullah, Sutrisno, Agama, Perubahan Sosial dan Sublimasi Identitas, Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.2, Juni 2003 International Institute of Islamic Thought Indonesia
Verdiansyah, Very, Islam Emansipatoris, Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan, Cet. II, P3M Jakarta 2005

* Artikel ini pernah dimuat di buletin FKIQ (Forum Kajian Islam Al-Qolam) Pakistan

No comments: