Wednesday, March 19, 2008

Beda Yes, konflik No!*


Oleh : M. Ihsanuddin

Perbedaan merupakan suatu bagian dari keindahan, yang terselip dibaliknya sebuah hikmah. Sebagaimana Aa' Gym mengibaratkan perbedaan dengan sebuah taman bunga, semakin banyak warna-warni bunganya, semakin indah taman bunga itu. Demikian juga dengan realitas yang ada di alam ini, dengan adanya keanekaragaman maka timbullah persaingan, pergerakan, asimilasi, akulturasi, yang mana itu semua pada satu sisi akan membawa suatu kemajuan, dan di sisi lain bisa menimbulkan konflik diantara mereka, untuk membela dan memperebutkan apa yang mereka ingin capai. Sekarang bagaimana mengemas sebuah perbedaan dan keanekaragaman budaya, ras, suku, agama, pada sebuah bingkai yang indah, interes, cool, tidak menakutkan, tidak menimbulkan konflik, sehingga terbentuk sebuah komunitas masyarakat heterogen yang hidup berdampingan, aman, damai dan tenteram?
Kalau kita lihat dalam konteks ke-Indonesiaan, kata perbedaan sudah tidak asing lagi terdengar ditelinga kita, mulai dari anak-anak SD sampai mahasiswa perguruan tinggi sudah dicekoki dengan sebuah arti perbedaan itu sendiri, yang diambil dari semboyan bangsa Indonesia "Bhineka Tunggal Ika". Semboyan itu lahir dari sebuah realitas yang ada, sejak nenek moyang pendahulu dan pencetus bangsa, hingga masih eksis sampai sekarang, dan itu merupakan suatu proses pembelajaran terhadap kedewasaan dan pemahaman bangsa kita sendiri. Sudah sepatutnyalah semboyan itu telah mendarah daging bagi bangsa Indonesia. Semboyan tersebut merupakan suatu pengejewantahan (perwujudan) dari sebuah keanekaragaman (kebhinnekaan) yang terdiri dari multidimensi, multietnis, multicultural, dan multireligius.
Kebhinnekaan dalam arti keanekaragaman budaya, suku, ras, agama, bahasa merupakan identitas bangsa Indonesia, dari situ tercetus sebuah persatuan dan kesatuan bangsa. Di lain pihak, kebhinekaan juga bisa berimplikasi terhadap timbulnya disintegrasi suatu bangsa, kalau misalkan tidak diiringi dengan pemahaman dan pembelajaran akan arti sebuah semboyan dan landasan ideology bangsa Indonesia. Maka diperlukan pranata-pranata social yang bisa diterima dan dipahami oleh semua unsure yang ada.
Banyaknya konflik berdarah terutama yang menyangkut masalah suku, agama, ras telah terjadi beberapa tahun yang lalu di Indonesia, diantaranya di Poso, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, itu sudah menandakan bahwa masyarakat yang bercorak "masyarakat heterogen dan majemuk" (plural society) rawan akan timbulnya konflik antar suku dan agama. Konflik tersebut tidak akan terjadi dengan sendirinya tanpa dipicu oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan beberapa hal yang mempengaruhinya, diantaranya, pertama, rendahnya pemahaman masyarakat akan arti "Bhineka Tunggal Ika". kedua, kurangnya pemahaman agama yang dianutnya, karena tiap agama tidak ada yang menyuruh untuk berbuat anarkhis kepada agama lain sehingga menimbulkan konflik. Ketiga, jumlah komunitas yang ada, baik itu menyangkut agama maupun suku. Keempat, tingkat pendidikan masyarakat tersebut, semakin tinggi tingkat pendidikan suatu komunitas tersebut, semakin rendah temperamen timbulnya konflik, demikian juga sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan mereka, maka peluang terjadinya konflik semakin besar.
Sebenarnya masyarakat Indonesia yang multukulturalis ini telah disetting sedemikian rupa oleh para pendahulu bangsa ini, dengan undang-undang, peraturan-peraturan, baik tertulis seperti Pancasila, UUD '45, maupun tidak tertulis seperti pranata-pranata social dan peraturan-peraturan adat yang ada. Namun demikian, dengan lajunya perkembangan zaman, berdampak pada perubahan budaya, pola pikir, adat, yang bisa mereduksi pemahaman dan ketaatan pada suatu agama yang dianut dan ideology bangsa serta undang-undang yang berlaku.
Setingan bangsa Indonesia oleh para pendahulu bangsa dengan ideology pancasila dan UUD 1945 itu merupakan setingan yang dianggap paling ideal, dengan acuan keanekaragaman (kebhinekaan bangsa), ideology itu dijadikan landasan dalam segala aspek dalam kehidupan bangsa. Dalam aspek agama, adanya lima agama di Indonesia maka yang harus dikedepankan adalah rasa tasamuh (toleran) diantara penganut agama, tidak menonjolkan salah satu agama, tapi tetap sesuai dengan dasar-dasar agama, terutama agama Islam, selain itu bertujuan untuk tidak menimbulkan gejolak di komunitas masyarakat yang disitu terdapat agama minoritas dan mayoritas, sehingga mereka bisa hidup berdampingan dan saling memahami untuk menekan terjadinya konflik. Aspek hukum, hukum di Indonesia tidak berdasarkan pada salah satu ajaran agama tertentu, tapi berdasarkan pada ideologi bangsa. Acuan hukum tersebut adalah pluralitas bangsa indonesia itu sendiri, bisa diterima oleh semua unsure. Sedangkan dari aspek politik, Indonesia tidak menganut system politik Islam, tetapi system politik yang diterapkan adalah system demokrasi pancasila. Kedaulatan di tangan rakyat. Segala UU dan PP yang merumuskan rakyat sendiri, melalui para wakilnya yang duduk di DPR dan MPR. Demikian juga presiden, para anggota DPR dan MPR yang memilih rakyat sendiri, jadi bisa dikatakan meraka itu merupakan wajah dari Bangsa Indonesia. Demikian juga sistem ekonominya, tidak berafiliasi pada sistem ekonomi Islam, juga tidak menganut sistem ekonomi liberal maupun kapitalis, tetapi yang diterapkan adalah sistem ekonomi pancasila.
Dalam perkembangannya, Indonesia belum bisa dikatakan 100 % negara multikultural yang kadar toleransi umat beragamanya sangat tinggi, berdasarkan hasil survey LSI (Lembaga Survey Nasional) terbaru yang dilaksanakan pada awal tahun 2006 di 33 provinsi, tentang kadar toleransi antar umat beragama di Indonesia, menunjukkan bahwa mereka cukup toleran dalam masalah sosial. Misalnya, mereka disebutkan tidak keberatan hidup bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Tapi sikap toleran itu berkurang, terutama dikalangan umat Islam, apabila memasuki wilayah teologis dan politik, seperti soal pembangunan tempat ibadah. Dinyatakan bahwa sekitar 42 persen orang Islam di Indonesia keberatan apabila penganut agama lain mendirikan tempat ibadah di lingkungannya. Adapun komentar para tokoh ormas Islam baik NU maupun Muhammadiyah, menuntut pemerintah untuk melakukan pendekatan psikologi keagamaan pada masalah ini, dan merevisi atau mengkaji ulang Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tentang pembangunan rumah ibadah, karena terkesan menganaktirikan agama diluar Islam dan semangat revisi jangan hanya untuk kelompok agama tertentu.
Demikian juga dalam aspek politik, sistem demokrasi di Indonesia belum 100 % bisa terkonsolidasi, menurut LSI, sebanyak 72 % warga mendukung sistem demokrasi yang ada, tapi itu belum mencapai titik aman untuk menunjukkan suatu keberhasilan, biar bisa dikatakan terkonsolidsi minimal 84 % warga mendukungnya, sebagaimana di Jerman, mencapai 93 % dukungan terhadap demokrasi. Disamping itu, masih besarnya dukungan publik terhadap keterlibatan tentara dalam politik juga menjadi indikator belum kuatnya demokrasi di negara Indonesia, tercatat pada tahun 2005 mencapai 25 % dan tahun 2006 meningkat menjadi 36 %, sehingga membuat Indonesia rentan terhadap kemungkinan kudeta oleh tentara. Selain itu, rendahnya keterikatan masyarakat dengan parpol, sebagaimana hasil survey LSI menunjukkan hanya 26 % masyarakat yang punya perasaan terikat dan kedekatan dengan parpol. Dalam negara demokrasi ini sangat berbahaya, karena parpol merupakan saluran politik untuk mengartikulasikan aspirasi dan keinginan masyarakat. Yang menarik lagi, mereka itu masyarakat yang tidak terpelajar, adanya keterikatan karena fanatisme belaka, maka tidak bisa bersikap kritis. Untuk mencapai demokrasi yang berprospek, diperlukan msyarakat yang terpelajar dan berpendidikan dan bersikap kritis.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa eksistensi negara Indonesia yang multikultural, religius, dan suku, yang terhimpun dalam suatu semboyan "Bhineka Tunggal Ika" masih belum mencapai pada tahap dan tatanan yang diharapkan, dalam segala aspek, baik aspek teologi, politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya. Sehingga diharapkan kedepannya, perlu adanya pembenaahan, revisi dan kajian ulang terhadap kebijakan-kebijakan yang berlaku sekarang dalam segala aspek tersebut, yang disoundingkan melalui para wakil rakyat, untuk mewujudkan tujuan utama yang ingin dicapai bangsa, diantaranya tidak adanya konflik yang menyangkut sara, walaupun sudah tereliminer beberapa konflik yang sudah terjadi. Maka nantinya terwujud masyarakat yang damai, adil dan makmur diridlai Allah SWT "Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur" , amiin. Wallahua'lam bish-showaab

* Artikel ini pernah dimuat di buletin FKIQ (Forum Kajian Islam Al-Qolam) Pakistan

No comments: