Friday, April 4, 2008

"Fitna" & Radikalisme Barat




Oleh : M.Ihsanuddin
Sejak zaman Rosulullah SAW hingga sekarang, Black Campaign terhadap Islam tidak kunjung henti. Memang selamanya Yahudi dan Nasrani tidak akan rela melihat Islam berkembang di dunia ini, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran :
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah : 120).
Fenomena demi fenomena telah berlalu mengukir sejarah perjalanan Islam dan umat-Nya. Terutama di era abad 21 ini, berawal dari peristiwa 11 September 2001, Presiden AS George W. Bush menabuh genderang perang salib, sebagai istilah yang pernah Bush ungkapkan untuk memerangi terorisme. Dengan istilah tersebut secara tidak langsung mengklaim Islam-lebih khususnya Al-Qaeda yang dipimpin Osama bin Laden- sebagai dalang di balik peristiwa tersebut, hingga dijadikan hujjah untuk menyerang Afghanistan. Meski banyak petunjuk yang mengarah kepada keterlibatan dinas intelijen AS atau Israel dalam serangan 11 September, namun Gedung Putih sudah terlanjur menjustifikasi orang Islam sebagai pelakunya. Maka usaha Bush tersebut berhasil dengan membentuk opini publik, bahwa Islam sebagai agama teroris, radikal, intoleran, musuh kebebasan, anti kedamaian, pemicu kekerasan dan peperangan. Pemimpin evangelist di AS Pat Robertson menganggap Muslim jauh lebih buruk dari pada orang-orang Nazi. Sedangkan Reverend Richard Cizik, wakil presiden National Association of Evangelicals menyatakan bahwa para evangelist telah memilih Islam sebagai pengganti Uni Soviet untuk menjadi musuh mereka.
Berawal dari opini tersebut, mereka melegalkan perang melawan terorisme sebagai salah satu senjata yang ampuh untuk memerangi Islam. Dari situ berlanjut hancurnya negara Afghanistan, disusul negara Irak. Padahal Irak merupakan pusat munculnya peradaban Islam. Banyak ulama Islam berasal dari negeri seribu satu malam tersebut. Baghdad dan Kufah yang dulunya sebagai pusat kajian Al-Quran & Al-Hadits, sekarang telah dikuasai dan di dominasi oleh antek-antek AS. Konflik Sunni-Syiah dipolitisasi Barat, hingga sekarang konflik sektarian tersebut menjadi senjata untuk meligitimasi dan menjustifikasi atas intervensi dan penguasaannya terhadap negara tersebut.
Islam dimata Barat selalu dimarginalkan, juga tidak lain hanyalah agama yang penuh dengan doktrin kekerasan, diskriminasi gender, dan tidak humanis. Islam berkembang dengan pedang dan peperangan sebagaimana yang dilakukan oleh bangsa Arab. Mereka mengklaim bahwa doktrin tersebut berasal dari Al-Quran, sedangkan Al-Quran sebagai produk budaya bangsa Arab yang tidak ada kesakralan di dalam-Nya, yang memiliki multi interpretasi sesuai dengan penafsir dan kontekstual sekarang.
Demikian itu tergambar di benak Geert Wilders, seorang politikus partai pembebasan yang merilis film "Fitna". Tampak pada filmnya kebencian terhadap Islam dengan mengidentikkannya sebagai agama kekerasan. Sebagaimana skenario alur dokumen-dokumen yang ditampilkan, dibuka dengan gambar sebuah kitab Alquran. Selanjutnya, gambar kartun Nabi yang bersorban bom, dimuat pembacaan ayat Al-Quran sebanyak 5 kali, al-Anfal:60, An-Nisa':56, Muhammad:4, An-Nisa:89, dan Al-Anfal:39. Disela-sela pembacaan ayat-ayat tersebut, ditampilkan rekaman-rekaman peristiwa, mulai dari hancurnya WTC di New York, 11 September 2001, peristiwa bom di Madrid, Maret 2004, dan bom di London, Juli 2005. Disusul pidato tokoh-tokoh Islam, juga ditampilkan Muslim di berbagai negara yang berdemonstrasi dengan membawa poster-poster yang bertuliskan Jihad Against European Crusaders, Islam Will Dominate the World, Freedom Go to Hell, dan God Bless Hitler. Juga nampak gambar Theo Van Gogh-seorang Belanda sutradara film Submission yang dibunuh pada 2004; kemudian statistik perkembangan Muslim di Belanda; mayat-mayat bergelimpangan; orang dipenggal; kliping media massa yang disorot judul-judulnya; hingga wawancara gadis kecil berkerudung yang berkomentar benci terhadap Israel. Film itu diakhiri dengan kesimpulan ''Stop Islamisasi Barat, Bela Kebebasan Kita.'' Dan menyobek lembaran Mushaf Al-Quran dengan menganggapnya layaknya buku biasa. Selain itu, dia mengklaim Alquran merupakan kitab yang fasis dan Islam tidak cocok dengan demokrasi. Alquran tak ubahnya Mein Kampf-nya Hitler yang menghasut dan melakukan kebencian dan pembunuhan. Sedangkan Rosul SAW tak lain hanyalah seorang Teroris. Inilah sebuah karya non muslim yang menyakitkan hati umat Islam sedunia dengan pelecehan dan penghinaan Islam, Nabi Muhammad SAW dan Al-Quran.
Memang Wilders sengaja dengan merilis film tersebut akan mendapat kecaman dari berbagai pihak, maka sudah semestinya mulai dari negara-negara muslim, sekjen PBB, OKI, Komisi Dewan HAM, Uni Eropa dan pemerintah Belanda mengecam tindakan Wilders tersebut. Film propaganda tersebut merupakan salah folllow up dari rentetan kampanye atas kebenciannya terhadap Islam. Dia mengalami Islamophobia dengan melihat statistik perkembangan Islam di Barat terutama di AS dan Belanda yang mengalami peningkatan yang signifikan setelah terjadinya peristiwa 11 september 2001. Terbukti di Belanda, 2 orang muslim telah menduduki jabatan menteri. Wilders yang akrab dengan tokoh-tokoh Yahudi; Ariel Sharon, Ehud Olmert dan Mossad, berasumsi bahwa tindakannya merupakan bagian dari freedom expression, ketika ini ditentang dan dikecam berarti menentang kebebasan berekspresi. Di samping itu, dia ingin mengkampanyekan gerakan pembebasan dengan tidak ada diskriminasi gender, keterpasungan ide dan gagasan.
Dengan pandangan dan pemahaman seorang yang mempunyai background kristen konservatif terhadap Islam yang diungkapkan dalam bentuk film tersebut, memiliki subyektifitas yang tinggi, bersifat pelecehan, penghinaan, distortif, sangat intoleran, provokatif untuk menimbulkan tindakan-tindakan anarkhis. Inilah bagian dari karakteristik radikalisme Barat. Karakteristik ini berangkat dari opini publik yang kontradiktif dengan nilai-nilai universalitas Islam. Obyektifitas kebenaran tidak hanya dilihat dari sudut pandang kontekstual, yang hanya mengedepankan realitas dari sebagian individu muslim. Islam tidak bisa direpresentasikan dengan seorang individu tertentu, karena belum tentu individu tersebut memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam secara komprehensif. Padahal hakekat nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits telah terjamin kebenarannya sebagai rahmatan lil 'alamiin. Nilai-nilai universalitas Islam tercermin dalam bentuk keadilan, toleransi, kedamaian, keseimbangan, kelembutan, keramahan, keluwesan, kemudahan, kebebasan, dan sebagainya. Maka ketika Islam dipahami secara parsial, berdampak pada tereduksinya nilai-nilai Islam dan terbentuknya opini publik ataupun imej negatif terhadap Islam.
Reaksi Umat Islam dalam merespon tindakan tersebut, bersifat ilegan, dengan tuntutan pemberian sanksi kepada Wilders dengan jalur resmi, baik melalui Mahkamah Internasional, maupun sesuai dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda. Selain itu, sebagian umat Islam melakukan aksi pemboikotan terhadap produk-produk Belanda. Dengan reaksi seperti itu, diharapkan dapat membawa dampak positif terhadap dakwah Islam dan juga bisa menjustifikasi kemurniaan nilai-nilai Islam. wallahu a'lam bisshowab.
(Diambil dari berbagai sumber)

No comments: